Different part 1
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Part 2
Aku mendengar suara berisik di luar.
Aku membuka mataku dan tidak menemukan Luhan disampingku.
Enam tahun berlalu dengan cepat dan
aku selalu bangun dalam keadaan seperti ini. Aku masih Sehun yang
dulu, bekerja 8 jam penuh di kantor, mengenakan kemeja dengan dasi
miring dan Luhan akan membetiulkannya sebelum pergi.
Hari ini adalah hari pertama Hanna
masuk sekolah dasar. Luhan sangat sibuk sejak pukul 5, siapkan ini
dan itu.
“ Selamat pagi ayah Hun.” Sapa
Hanna riang.
“ Pagi,” balasku malas
“ Apa ayah tidur nyenyak?”
“ Hmm..” jawabku singkat. Tidur
nyenyak.. yang benar saja, aku sudah tidak pernah bisa tidur nyenyak.
Enam tahun lamanya dan aku selalu terbangun tengah malam dan
memikirkan ini itu. Setiap malam.
“ Tapi sepertinya ayah masih
ngantuk.” Kata Hanna polos “ Ayah Han..”
“ apa sayang.”
“ Ayah Hun punya kantung mata.
Temanku Zitao juga punya dan Xiumin bilang orang yang punya kantung mata
berarti kurang tidur.”
“ Oh benarkah?” Luhan membelai
kepala Hanna lalu memandangku “ Ayah Hun sedang banyak pekerjaan.
Dia jadi sangat sangat lelah dan mungkin kurang tidur.”
“ Kalau begitu ayah Hun tinggal di
rumah saja bersama ayah Han. Tidak usah bekerja dan tidur yang
banyak.” Usul Hanna.
Luhan tertawa, mengecup pucuk kepala
Hanna. “ Lalu siapa yang mengantar Hanna ke sekolah?”
“ Aku bisa berangkat sendiri ayah,
aku kan sudah besar. Sudah enam tahun.”
“ Sudah jangan mengobrol terus. Hanna
habiskan sarapanmu, kita berangkat. Kau tak mau terlambat di hari
pertamamu kan!” kataku dingin.
Luhan memberikan tas hello kitty ke
tanganku beserta botol minum kecil. Sebelum berangkat dia mencium
Hanna berbicara beberapa patah nasihat. “ Jangan nakal, dengarkan
apa kata guru, perhatikan pelajaran. Janji?”
Hanna mengaitkan kelingkingnya ke jari
Luhan sambil tersenyum ceria “ Aku janji ayah Han.”
“ Hati hati di jalan.” Kata Luhan
dengan wajah cemas.
“ kami berangkat.”
“ Sehun!” Luhan menahan tangaku.
“ Apa?”
“ Dasimu.”
Luhan masih Luhan yang dulu. Tangannya
terulur membetulkan dasi dan satu kecupan yang… aku lupa kapan
terakhir kali Luhan menciumku karena kecupan itu lebih banyak
ditujukan ke Hanna.
“ Hati hati menyetir mobilnya
sayang.”
Aku juga lupa kapan terakhir kali Luhan
memanggilku ‘sayang’ karena panggilan itu sering di gunakan untuk
memanggil Hanna, sampai aku tak pernah menegngok lagi jika Luhan
memanggil ‘sayang’.
“ aku mencintaimu.”
Inilah satu satunya pembeda antara
perlakuan Luhan terhadapnya dan Luhan terhadap Hanna. Luhan akan
bilang ‘ aku menyayangimu’ kepada Hanna dan… ‘aku
mencintaimu’ padaku.
Rasa sayang dan rasa cinta itu berbeda.
Luhan masih mencintaiku.
Itulah yang terpenting.
Baru kali ini aku menyetir dengan
kecepatan di bawah 40 km/jam, mengingat pesan Luhan untuk berhati
hati, bahwa sekarang dia bersama Hanna, bukan hanya sendiri.
“ Ayah, ayah, apa sih artinya buaya
darat?”
“ A-apa?”
“ buaya darat ayah.”
Kau tahu dari mana kata kata itu?”
tanyaku was was “ Siapa yang mengajarkannya padamu?”
“ Kris bilang dia mau jadi pacarku.”
“ Kris? Temanmu yang di TK dulu?”
Hanna mengangguk. “ Tapi Xiumin
bilang jangan berpacaran dengannya karena Kris buaya darat. Nah
artinya buaya darat itu apa ayah? Aku tak mengerti.”
“ Hanna, kau tidak boleh pacaran. Kau
masih enam tahun. Ayah melarangmu!” kataku cukup keras. Aku memang
tak peduli dengan apa yang Hanna lalukan tapi melihat anak umur 6
tahun pacaran bukanlah sesuatu yang wajar. Walau aku tahu apa yang
aku lakukan dengan Luhan juga tidak wajar.
“ Lalu buaya darat itu apa yah?”
buaya darat..ah, bagaimana aku
menjelaskan pada anak umur 6 tahun.
“ Buaya darat… err.., ya buaya.
Buaya yang ada di darat. Hanna sering liat buaya yang di air, nah
kalau yang ini adalah buaya yang di darat.” Konyol. Aku hampir
menertawakan diriku sendiri yang berbicara seperti ini. Luhan
harusnya ada di sini membantuku.
Hanna mengerutkan keningnya bingung “
Maksudnya yah? Kris tidak mirip buaya.”
Beruntung kami sudah sampai di depan
gerbang sekolah. Aku membuka seatbelt Hanna. Sebelum Hanna turun aku
menatapnya lekat lekat dan berbicara serius.
“ Hanna dengarkan aku. Tidak peduli
Kris buaya atau bukan yang terpenting kau tidak boleh pacaran dengan
siapapun.”
“ bagaimana dengan Xiumin? Dia juga
temanku di TK. Dia baik sekali, dia-“
“ Tidak juga Xiumin. Kris, Zitao,
atau siapapun itu. Kau tidak boleh pacaran, oke!”
Aku bukanlah Luhan yang akan mengaitkan
kelingking dan berjanji. Tapi satu anggukan kecil Hanna membuatku
meras Hanna akan memegang janjinya.
“ Belajar yang rajin.” Ujarku . aku
mengamati Hanna berlari memasuki gerbang hingga sosok itu menghilang.
Aku tertawa sendiri membayangkan
ekspresi Hanna tentang jawaban buaya darat selama perjalanan ke
kantor. Wajah itu berkerut lucu, tetap menerima apapun yang
kuucapkan. Ini membingungkan.
Aku seperti menemukan diriku…
Bahagia bersama Hanna..
***
Hampir dua bulan setelah Hanna
bersekolah dan gadis kecil itu sangat pintar. Dia punya banyak teman,
juga penggemar yang memberinya cokelat dan permen. Hanna tidak
berpacaran, setidaknya itu membuatku lega karena jika Luhan tahu
pembicaraan kami waktu itu, aku yakin dia pasti akan shock.
Namun hari ini…
Aku tidak disambut dengan suara riang
anak itu sepulang kerja. Biasanya aku akan menemukan si kecil dengan
rambut ikal yang terkuncir rapid an tersenyum riang menyambutku. Hari
ini sangat berbeda. Aku menemukan Hanna menunduk sedih di sofa dengan
Luhan yang memeluknya.
“ Ada apa? Hanna kenapa?” tanyaku
was was. Luhan memandangku, matanya berkaca kaca. Aku tidak mengerti.
Lalu aku melihat sebuah gambar di tangan Hanna. Gambar itu cukup
bagus, kecuali warnanya yang keluar garis. Pada intinya aku
menganggap itu gambar yang bagus. Dua pria dewasa dan anak perembuan
kecil di tengahnya, mereka bergandengan tangan dan gunung hijau serta
pohon tinggi jadi latar belakangnya.
“ Hanna, apa ini gambarmu?”
Hanna menganggukkan kepala. Aku bisa
melihat setetes air mata mengalir.
“ Apa ini ayah Hun, Hanna, dan ayah
Han?”
Hana mengagguk lagi, kemudian barulah
Hana bercerita sambil menangis.
“ Guru Lee menyuruh kami menggambar
tentang keluarga. Aku menggambar kita sekeluarga pergi ke
pegunungan, lalu…” Hanna terisak “ Mereka bilanng gambarku
aneh. Mereka bilang aku tidak mungkin punya dua ayah. Keluarga selalu
terdiri dari ayah, ibu, anak..”
Aku merasa kali ini masalahnya lebih
rumit dari sekedar buaya darat. Hanna tidak mengenal sosok ibu.
Tentu. Dia punya dua ayah dan hari ini pun akhirnya tiba. Pertanyaan
abstrak yang beserta segala kemungkinan yang aku dan Luhan takutkan
tiba di hari ini.
Luhan ikut menngis, dia tidak tahu apa
yang harus di perbuat. Aku mencoba memahami keadaan ini.
“ Hanna…” aku berlutut di depan
anak itu, menghapus air matanya “ Dengarkan ayah Hun baik baik.
Tidak peduli apa yang mereka katakan, tidak peduli apa yang mereka
lihat, hal pertama yang harus Hanna ingat adalah Hanna punya
keluarga. Hanna tahu ada berapa banyak anak yang tidak punya
keluarga?”
Hanna menggeleng.
“ Banyak Hanna. Banyak.” Dan kau
adalah salah satunya jika kami tidak mengadopsimu.
“ Hanna punya keluarga. Hanna punya
dua ayah yang menyayangi Hanna. Dan itu sudah cukup. Yang terpenting
adalah Hanna bahagia punya keluarga yang seperti ini. Ayah Han
menyayangi Hanna, baginya Hanna adalah kebahagiaannya. Hanna sayang
ayah Ha kan?”
“ Sangat sayang.” Hanna memeluk
Luhan sambil menangis.
Masalah ini berat, tapi sekali lagi
kami bisa mengatasinya. Hidup ini memang sulit, tapi bersama keluarga
semuanya bisa diatasi.
Luhan mengeringkan air mata Hanna dan
berkata “ Ayah Hun juga menyanyangi Hanna, iya kan?”
Aku belum pernah memeluk Hanna
sebelumnya. Perasaan benci lebih mendominasi hari hari kemarin dan
keengganan untuk menyentuh si kecil sejak dia berada di hidupku. Hari
ini aku merasakannya, pelukan Hanna, dan rasanya berbeda. Pelukan
Hanna hangat, tubuh kecilnya menempel menjadi satu di hatiku. Aku
tidak pernah menangis seperti Luhan, tapi rasanya sulit menahan air
mata saat Hanna berbisik pelan
“ aku menyanyangi ayah Hun, sangat.”
Aku membenci Hanna.
Seharusnya aku tahu itu dari awal.
Hanna penuh kebahagiaan, seperti Luhan. Bahkan setelah aku
menempelkan gambar itu di meja kantor, setiap kali memandangnya, aku
serasa ingin segera pulang. Aku mau bertemu Luhan, bertemu Hanna,
anak perempuan kami.
Saat liburan kenaikan kelas aku
mengajak keluarga kecilku ke guung. Aku ingin membuat gambar Hanna
menjadi kenyataan. Hanna sangat gembira saat itu. Dia berlari lari
dengan kincir angin di tangannya.
Luhan bersandar di kelukan leherku,
menikmati udara segar. “ Hanna cepat sekali besar.”
“ Dia sudah berumur enam tahun. Keapa
enam tahun seolah berjalan dengan begitu cepat? Ini seperti baru
kemarin dia masih berumur 3 bulan dan menangis setiap saat.” Luhan
tertawa pelan. Luhan memlukku. “ Terima kasih Sehun.”
“ Untuk liburan ini? Tidak masalah,
aku ..”
“ Bukan. Bukan itu.” Koreksi Luhan
“ lalu?”
Luhan tersenyum. Senyuman yang
membuatku jatuh cinta padanya sembilan tahun yang lalu.
“ Terima kasih sudah membuatku
bahagia. Aku bahagia karena ada kau dan Hanna.”
Bagiku apapun akan aku lakukan untuk
membuat Luhan bahagia. Tidak akan pernah ada kata cukup. Aku janji
akan terus membahagiakannya, membahagiakn Luhan.. dan Hanna..
***
Hari senin.
Hari ini Hanna bilang pada Luhan bahwa
orang tua Xiumin mengajaknya, Zitao, dan beberapa teman yang lain
pergi ke kebum binatang. Luhan menggigit bibirnya, peresaan ragu
melepas izin.
“ Bolehkan ayah Han? Kumohon.”
Rajuk Hanna menarik narik celemeknya.
“ Entahah Hanna.. ayah tidak yakin..”
“ Aman kok. Ayah Xiumin yang menyetir
dan menjaga kami disana. Ayolah. Hanna belum pernah melihat lumba
lumba.”
Luhan melirik ke arahku, memohon
bantuanku. ‘ katakana tidak Sehun. Katakana Tidak.’
“ Kita bisa pergi di akhir pekan
Hanna. Bersama ayah Han dan ayah Hun.” Kataku
Hanna duduk di pangkuanku, memeluk
leherku. Mata itu mulai mengerjap sambil memohon. “ Tapi
pertunjukan lumba lumbanya hanya hari senin.”
Aku mengembalikan tatapan pada Luhan.
Hanna terus berkata ‘kumohon, please, ayolah’ membuat pendirianku
runtuh.
Luhan mengizinkannya.
“ Tapi ingat, jangan dekati binatang
binatang itu. Jangan memasukkan tanganmu ke kandang, walaupun itu
hewan terjinak sekalipun. Mengerti!”
“ Mengerti!” sorak Hanna dan
memeluk Luhan lebih lama dari biasanya.
“ Aku berangkat sekarang ayah.”
Mobil Xiumin besar. Beberapa anak di
dalamnya terlihat senang dengan kedatangan Hanna. Seperti biasa Luhan
mencium Hanna sebelum anak itu pergi dan melambaikan tangan.
“ Goodbye!”
Hanna pintar berbahasa Inggris, namun
tampaknya kali ini dia salah menggunakan kata. Seharusnya ‘ see
you’ yang berarti sampai jumpa. Bukan ‘goodbye’ yang berarti
selamat tinggal.
Perasaan Luhan tidak enak.
Gadis kecilnya tidak bermaksud
mengucapkan kata ‘goodbye’, dia tidak mengucapakan kata
perpisahan dengan sengaja.
Tapi kecelakaan itu juga tidak
disengaja.
Mobil Hyundai milik Xiumin tertabrak
truk besar saat perjalanan pulang. Ada delapan orang di dalamnya.
Dua orang luka ringan, lima luka berat,
dan satu tewas di tempat.
Hanna.
Korban meninggal kecelakaan maut itu.
Luhan merasakan tubuhnya berubah jadi
setumpuk pasir. Tak ada tulang yang menyanggah tubuhnya untuk tetap
berdiri. Dan kata kata dokter itu menyeruak ke dalam telinga kami.
“ maaf”
Luhan tidak percaya. Begitupun aku yang
memeluknya. Luhan meronta dengan seluruh kekuatan yang ada.
“ Tidak! Itu bukan Hanna anak kita,
iya kan Sehun? Katakan itu bukan Hanna. Mereka pasti salah.”
Aku juga berharap bahwa berita ini
hanya bohong, ini merupakan kesalahan terbesar dan ini tidak lucu.
Sosok yang di bawah kain putih itu bukan Hanna.
“ Aku baru memegang tangannya tadi
pagi, aku baru memasak untuknya tadi pagi, aku baru memeluk dan
menciumnya. Ini tidak mungkin.. jangan ambil Hanna..kumohon..”
aku berharap seribu kali dalam hati.
Aku berharap Tuhan tidak mengambil Hanna, jiwa luhan. hidup kami
akan berbeda tanpa Hanna.
Tetapkan terasa bahagia seperti dulu?
Berbeda
Ini tentu berbeda.
Terasa ada ruang kosong di apartment
kami. Aku merasa kekosongan yang nyata. Luhan terus berada di kamar
Hanna. Luhan mengaku belum pernah pergi ke pemakama sekalipun, dan
pemakaman pertama yang dia datangi adalah pemakaman anaknya.
“ Kenapa? Dari banyaknya orang kenapa
harus Hanna, kenapa bukan Zitao, Xiumin, ataupun siapapun itu. Kenapa
harus Hanna?”
Kenapa itu juga yang aku pikirkan. Aku
tak bisa merelakan kepergiannya seperti ini. Tidak disaat aku mulai
menyayangi Hanna.
“ Sehun, aku tidak mau Hanna pergi.
Kembalikan Hannaku. Aku aka melakukan apapun agar Hanna bisa
kembali.”
Tangis Luhan menemaniku sepanjang
malam. Setiap hari.
Tiada henti.
Kutukankah ini semua?
Karmakah?
Aku memang pernah berharap Hanna pergi,
menghilang dari hidupku. Aku benci anak itu. Dulu tidak ada secuil
perasaan sayang bahkan aku pernah hampir membunuhnya karena
keegoisanku. Disaat seperti ini aku berharap perasaan itu kembali.
Aku harusnya tertawa senang karena kepergian Hanna, aku dapat berdua
lagi dengan Luhan.
Tapi itu adalah Sehun yang dulu.
Sehun yang sekarang adalah Sehun yang
menyayangi Hanna dan memasang gambar Hanna di kantornya. Aku pernah
mewujudkan gambar itu jadi kenyataan.
Tapi gadis di gambar itu tidak ada
lagi.
Dia sudah pergi.
Menyisakan aku dan Luhan berdua.
Luhan tak jarang bangun tengah malam
saat hujan deras di sertai petir. Dia berlari ke kamar Hanna. Takut
petirnya akan membuat Hanna ketakutan.
Lalu kosong.
Kamar itu kosong.
Tidak ada Hanna yang meringkuk
ketakutan disana. Hanya ada kasurnya yang kosong. sepi.
Luhan juga bangun pukul lima. Dia
menyiapkan sarapan untuk Hanna. Menunggu Hanna keluar dari kamar. Namun sampai puluk tujuh…
Hanna tidak pernah keluar dari sana.
Luhan gelisah. Luhan mondar mandir saat
pukul enam sore. “ Kemana perginya Hanna? Apa dia bermain di rumah
Xiumin? Sehun bisakah kau menjemput Hanna?”
Aku menatap Luhan sedih. Rasanya ingin
mengatakan Hanna tidak ada disana. Hanna sudah tidak ada lagi.
“ apa dia sudah makan? Sebentar lagi
makan malam. Kenapa Hanna belum pulang?”
Pagi itu juga, hari saptu. Luhan tiba
tiba membangunkanku pukul enam pagi.
“ Sehun, ayo bangun.”
“ ada apa Lu, ini masih pagi.”
“ Apa kau tidak ingat, hari ini kau
berjanji membawa Hanna ke kebun binatang.”
Aku menghela nafas, terpaksa berbohong.
“ Besok Luhan, kita pergi besok,”
“ Benarkah? Bukan hari ini?”
“ Bukan Luhan, besok..”
Aku menyelimuti tubuh Luhan lagi dan
kembali tidur.
Ya besok.
Hari esok yang tak pernah datang.
Aku memluk tubuh Luhan erat. Setelah
setahun berlalu,baru pertama kalinya aku meneteskan air mata. Sudah
satu tahun sejak kepergian Hanna. Mereka bilang tidak ada yang bisa
di perbuat dengan otak Luhan yang terus berdelusi – menganggap
Hanna sang anak masih bersama kami.
“ Aku mencintaimu, juga menyayangi
Hana.” Bisikku di telinga Luhan
Karmakah ini?
Apa ini balasan dari Tuhan atas segala
dosa kami? Atas perilaku menyimpang kami?
Kalau ini karma.. kenapa harus mereka
yang menaggung,
Kenapa harus Hanna?
Kenapa harus Luhan?
Tuhan.. karma berikutnya biar aku saja
yang menaggung.
No comments:
Post a Comment