Gay
Mungkin orang akan jijik mendengar
istilah itu
Apa itu kesalahan?
TIDAK!!
Menjadi gay bukanlah kesalahan. Aku
juga sama seperti orang yang mengaku dirinya normal. Aku juga
memiliki cinta, hanya saja kebetulan orang yang kucintai memiliki
jenis kelamin yang sama denganku. Apa ini yang membuatku berbeda? Apa
ini yang kalian bilang salah?
Aku mencintainya, mencintai Luhan. Itu
saja sudah cukup. Cinta memang gila, tak peduli dunia akan menganggap
kami aneh. Ini adalah perasaan yang tak butuh logika untuk
memahaminya.
Luhan adalah pria yang kucintai, sudah
dua tahun kami hidup bersama, saling mendampingi saat susah dan
senang, saat sakit maupun sehat. Dan selamanya kami akan bersama.
Selamanya…
Adalah kata yang sulit diartikan.
Apa benar selamanya kami akan terus
seperti ini?
Entahlah, yang aku tahu ini adalah
kehidupanku. Aku tidak pernah tidur sendirian, ada Luhan dalam
dekapanku, menghembuskan nafas hangat didadaku setiap malam. Ada
Luhan yang memasang lilin aroma terapi dan memasak di pagi hari. Aku
akan pulang malam karena kerja dan ada Luhan yang menunggu
kedatanganku di apartment kecil kami.
Kami akan menghabiskan malam minggu
dengan duduk di sofa panjang menonton film favorit kami. Luhan akan
bersandar di tubuhku. Tak jarang aku menemukan Luhan tertidur disana,
mata terpejam, dan itu membuatku ingin menciumnya lagi dan lagi.
Aku mencintaimu Luhan.
Sehun dan Luhan..
Selamanya bersama….
Bagiku ini adalah romansa terindah,
bahkan terlalu indah. Terkadang aku tak percaya kalau aku
memilikinya. Kebahagiaan, ada dalam genggamanku.
****
Ingin rasanya aku tertawa melihat
Luhan yang berusaha keras memotong kepiting di dapur. Pisau tidak
bekerja dengan baik dan Luhan tampak menyerah. Dia mendelik sebal
kearahku. Aku hanya terkekh ringan.
“ Apa? Kau sendiri yang bilang bisa
melakukannya sendiri. Kau bahkan melarangku masuk area dapur,”
kataku.
Luhan melempar pisaunya ke meja dan
menghiraukanku.
“ Hei, jangan marah begitu.”
“ Jangan tertawa!! Aku malas
mendengar suaramu.”
Luhan marah, dia marah dan megunci
pintu kamar kami. Tapi aku tahu, dia tidak pernah benar benar marah.
Kemarahan itu pasti akan sirna lebih cepat dari yang di bayangkan.
“ Luhan ayolah, aku lapar, jangan
begini.”
“ Jadi kau menikahiku hanya untuk
jadi pelayanmu? Memasak setiap hari?” suaranya melengking di dalam
kamar.
“ Maafkan aku, aku kan hanya
bercanda. Ayolah, buka pintunya.”
“ Tidak! Pergi dari sana!” usir
Luhan
Aku menyerah.
Bukan karena Luhan keras kepala, bukan
karena ku lapar. Tapi aku tahu aku salah. Jadi aku memutuskan untuk
masak sendiri. Aku memasak kepiting itu serta menyiapkan meja makan.
Setelah semuanya selesai aku kembali mendatangi kamar dan mengetuk
pintu.
“ Luhan ayo makan. Aku sudah masak
semuanya.”
Tidak ada jawaban
“ Lu..”
Pintu dibuka dan wajah cemberut Luhan
muncul. Masih memakai celemek kuning. Aku menggenggam tangannya,
menarik Luhan ke meja makan.
“ Tada! Aku sudah memasak semuanya.”
Kataku lalu mencium pipi Luhan. “ Jangan marah lagi oke. Kau tidak
lucu kalau sedang marah.”
‘ Siapa bilang aku lucu? Aku ini
tampan.” Sergah Luhan
“ Iya, tampan..” sekali lagi aku
mecuri ciuman kecil di sudut bibirnya “ … dan lucu”
Sehun dan Luhan…
Selamanya bersama….
Sehun dan Luhan..
Tak selamanya berdua..
Waktu menunjukkan pukul 10 malam. Aku
lelah, sangat lelah. Hari ini banyak sekali pekerjaan di kantor. Yang
aku butuhkan hanya memejamkan mata, lalu tidur. Tapi hari ini Luhan
tampaknya sedikit lebih bersemangat saat merangkak di atas ranjang,
berbaring di sebelahku, memeluk tubuhku, dan mengatakan sesuatu
yang tidak aku mengerti
“ Sehun, aku ingin punya anak.”
Rasa kantuk tiba tiba hilang entah
keman. Aku memandang mata Luhan dalam dalam.
“ Apa?”
Luhan mengangguk, wajah polos itu…”
Aku ingin punya anak.’”
Seketika tawaku meledak. Apa Luhan
sudah gila? Punya anak? Luhan tidak punya rahim untuk disinggahi
bayi. Apa dia sudah gila?
“ Bagaimana bisa Luhan?”
“ adopsi satu dari panti asuhan
Sehun?”
Saat itu juga aku bangkit, aku menatap
Luhan dengan mata tidak percaya. Luhan boleh saja memintaku terjun ke
jurang atau memotong nadiku sendiri. Luhan boleh meminta berlian
sebesar mobil, Aku akan bekerja hingga ke liang kubur jika itu yang
memang Luhan inginkan. Tapi satu ini… sama sekali tak terpikirkan
olehku.
“ Luhan.. adopsi anak? Buat apa?”
“ Dua orang menikah untuk punya anak.
Mereka bahagia saat ada anak dalam hidup mereka.”
Mereka? Mereka ..yang normal. Sehun dan
Luhan bukanlah mereka. kita menikah bukan atas dasar punya anak,
merencanakannya saja tidak, memikirkannyapun juga tidak.
“ Luhan kita berbeda, apa yang akan
orang katakan? Melihat dua pria menggendong bayi?”
“ Siapa yang peduli apa kata mereka?
kita hanya ingin punya anak, titik.” Ucap Luhan bersikeras.
Aku tak suka Luhan menambahkan kata
‘kita’ dalam kalimatnya. Ini bukan kemauan kami berdua. Ini
kemauan di satu pihak. Ini mau Luhan.
“ Oh ya? Punya anak. Kau kira semudah
itu mengurusnya, menyekolahkannya, menjaganya sampai dewasa?” Aku
berusaha menjabarkan semua kenyataan yang ada “ Bisakah kau
mengganti popok bayi? Bisakah kau menyusuinya lewat dot? Membuat susu
dengan takaran yang benar?”
“ Kita bisa belajar..” gumam Luhan
Kita? Tidak ada kita dalam soal ini
“ Tidak Luhan, aku tidak setuju!”
aku menutup topic ini. Selesailah pembicaraan konyol ini. Tidak ada
adopsi anak. Tidak ada tambahan satu anggota di hidup kami. Hanya ada
Sehun dan Luhan..
Selamanya bersama..
Malam ini Luhan tidak tidur bersamaku.
Dia tidur di sofa, tinggallah ruang kosong disini.
Aku tak habis pikir tentang Luhan. Apa
hidup seperti ini tidak cukup baginya? Apa aku tidak cukup untuk
Luhan? Mengapa Luhan meminta lebih?
Ini tidak adil.
Bagiku ini tidak adil.
Luhan tiba tiba berubah jadi orang lain
saat kemauannya tidak dipenuhi aku tidak mendengar sambutan selamat
pagi hangat sejak hari itu. Luhan tidak masak, menghindari kecupanku,
dia membisu, dia seperti orang asing.
Aku kira jika pulang ke rumah malam
hari mungkin kemarahan Luhan sudah surut. Kami lupakan pembicaraan
kemarin dan kami akan kembali seperti semula. Namun sepertinya aku
salah.
Aku pulang, melihat tidak ada makanan
di meja makan. Luhan duduk di sofa terdiam dengan buku di tangannya.
‘Membaca Sifat dan Karakter Anak.’
“ Luhan..”
Luhan mematung. Dia tetap membaca buku
itu, menghiraukan kehadiranku. Lalu selimut serta bantal di sofa
memperkuat pendiriannya bahwa Luhan tidak akan tidur bersamaku –
lagi. Kami tidak akan bersama.
“ Terserah apa maumu Luhan!” Aku
mebanting tas kerjaku ke lantai dan pergi ke kamar.
Menurutku ini sudah keterlaluan. Luhan
sudah kelewatan, dia keras kepala, dia berhati batu, dia buta, ya ,
dia buta. Keinginan membutakan hatinya hingga jadi seperti ini.
Atau…
Aku yang sebenarnya keras kepala,
berhati batu, buta? Kalau aku memenuhi keinginan luhan, pasti
semuanya akan selesai. Tapi aku tak menginginkan anak. Aku hanya maua
hidup seperti ini. Hanya berdua, tanpa siapa siapa lagi.
Mengapa ini tidak cukup?
Mengapa Luhan meminta lebih?
***
Malam ini aku pulang dalam keadaan yang
cukup lelah, dan betapa kagetnya aku saat melihat apartment tiba tiba
berubah. Ada sesuatu yang aneh. Ruang kosong di sebelah pintu kamar
terbuka dan Luhan ada di sana. Semua pernak pernik keperluan bayi
tersusun rapi. Box bayi, baby walker, bonek boneka di rak, lemari
penuh pakaian bayi, buku cerita anak.. kapan Luhan mempersiapkan ini
semua?
“Luhan ini apa?”
Luhan membalikkan tubuhnya, matanya
bengkak.
“ Sehun kumohon,” suaranya parau. “
saat aku katakan aku mau punya anak, aku tak main main. Aku
menginginkannya, sangat menginginkannya.”
Aku mendekat untuk memeluknya tapi
Luhan mundur menjauihiku.
“ Sehun, aku menginginkannya dari
dulu. Aku mencintaimu, aku akan menuruti semua maumu, tapi aku mohon
bisakah kau turuti permintaannku yang satu ini?”
TIDAK!!
Luhan menyentuh box bayi di belakangnya
“ Kita akan punya anak yang tidur disini.” Lalu Luhan menuju baby
walker di lantai “ Kita kan memperhatikan anak kita belajar
berjalan memakai benda ini.” Luhan mengambil buku cerita dan
menggenggam tanganku “ Kau bisa membacakannya cerita setiap malam.
Tidakkah kau menginginkannya?”
Aku ingin sekali menjawa tidak, tidak
tidak. Aku tidak mau ada bayi, anak, apapun itu. Aku hanya mau
kehidupan kami seperti dulu. Apa yang salah dengan hidup seperti ini?
Kami bahagia, kami senang, kami tertawa. Apa yang salah hingga Luhan
megubah semuanya?
“ Jika kau Tanya apa yang paling aku
inginkan dalam hidupku..” Luhan meneteskan air mata “ Ini Sehun.
Aku ingin ini.”
Seketika aku kembali ingat, cinta itu
gila. Lebih gila dari saat kau mnyadari kau mencintai sesama jenis,
lebih gila dari sekedar mengatakan ‘ aku cinta padamu’ dengan
keras di hadapan semua orang, lebih gila dari sekedar mengatakan ‘
aku menikahi Luhan dan aku mencintainya’. Ini gila saat hatiku
jatuh di kedalaman, berenang bersama luka luka yang lain, tapi…
“ Ya”
Kata ‘ya’ yang satu ini membawa
Luhan kembali padaku. Kembali memelukku seperti hari hari yang lalu.
Luhan kembali tidur lagi bersamaku.
“aku mencintaimu Sehun.” Kalimat
itu kembali mengalun lembut ditelingaku.
***
Aku sesekali membayangkan bagaimana
keluarga kecil kami di masa depan. Kami pasti harmonis, hangat, dan
penuh kebahagiaan. Kini semua hampir sempurna, aku memiliki Luhan,
apartment sederhana, dua mangkuk yang warnanya selalu sama, dan kamar
beraroma segar. Ini mendekati sempurna, aku bisa merasakannya.
Luhan lebih bahagia. Aku melihatnya
berseri daripada sebelumnya. Sebuah perubahan drastis yang terjadi
pada Luhan ketika bayi perempuan berumur tiga bulan ada di lengannya.
“ Lihat Sehun, Hanna menguap, dia
sangat lucu.” Luhan menimang bayi itu gemas. Dia tak henti hentinya
tersenyum memandangi anak itu.
Mungkin ini keputusan yang tepat. Luhan
tidak kesepian lagi saat aku tinggal kerja, ada Hanna, anak perempuan
kami yang akan menemani hari hari Luhan.
“ dia sangat cantik saat tidur, dia
seperti malaikat iya kan? Terima kasih Sehun, kau membuatku bahagia.”
Bahagia?
Aku tak bisa ungkapkan apa aku bahagia
atau tidak. Ini bukan film action kesukaanku, juga bukan sup jamur
favoritku. Ini anak. Hanna, anak perempuan yang aku tolak masuk ke
dalam kehidupan kami.
Jadi..
Entahlah.
Hidupku hanya untuk Luhan dan jika
Luhan bahagia.. maka… aku juga bahagia??
***
pukul 2
Pukul dua pagi aku terbangun karena
suara tangisan yang memekakkan telinga di kamar sebelah. Aku melihat
Luhan masih terlelap dan makhluk di sebelah tidak mungkin berhenti
jika tidak ada satupun dari kami yang bergerak. Maka aku memutuskan
untuk pergi kesana. Aku tidak pernah menggendong Hanna sebelumnya.
Luhan lebih baik dariku, bagaimana posisi yang nyaman, bagaimana cara
menidurkannya kembali. Luhan berhasil mengikuti semua petunjuk dari
buku itu.
Aku tidak membacanya. Aku juga tidak
peduli.
Hanna menangis tanpa henti. Mungkin dia
lapar, popoknya basah. Siapa yang tahu. Aku berada disini bukan untuk
mengeceknya, tapi untuk ‘menghentikan’ tangis itu. Ini jam dua
pagi, seharusnya aku dengan nyaman tidur bersama Luhan di kamar tanpa
perlu mendengar suara itu. Aku mengambil bantal beruang milik Hanna,
aku menutup wajah anak itu.
Tangisnya teredam.
Satu detik..
Aku sangat mencintai Luhan, terlalu
mencintainya.
Dua detik..
Kami akan baik baik saja tanpa seorang
anak
Tiga detik…
Aku memang orang yang egois dan
serakah. Aku hanya ingin Luhan mencintaku dan tidak membagi bagi rasa
itu pada orang lain.
Empat detik…
“ karena ada Hanna aku bahagia Sehun”
Lima detik..
Hanna adalah kebahagiaan Luhan.
Suara tangis Hanna mulai melemah di
balik bantal.
Aku segera menarik bantal itu. Apa yang
aku lakukan? Panik. Takut. Hanna terbatuk dan mulai menangis lagi.
Aku memang egois. Aku hanya ingin
memiliki Luhan sendiri. Tapi aku sadari Luhan punya sesuatu yang
membuatnya bahagia. Lalu bagaimana denganku?
Apa aku masih menjadi alasan Luhan
bahagia semenjak ada Hanna??
***
Dua tahun.
Hanna sudah berumur dua tahun dan rasa
benciku padanya tetap sama. Tidak berkurang malah lebih bertambah
seiring berjalannya waktu ke depan bukan ke belakang. Ya aku tahu,
aku hidup kea rah depan bukan kembali ke belakang. Ke masa lalu..
Masa saat aku dan Luhan adalah dua
orang yang hidup bersama.
Hanna, Luhan menyayangi anak itu. Jelas
jelas sangat menyayanginya. Dia rela bangun pagi hanya untuk
membuatkan bubur penuh nutrisi yang tentu itu membutuhkan waktu yang
sangat lama.
“ Hanna mau pakai baju yang mana? “
Luhan menggendong Hanna sambil memilihkan baju untuknya . “ Yang
itu ya, yang warna pink.”
Luhan menggandeng tangan kecil Hanna “
Ayah Hun.” Begitulah Luhan ajarkan Hanna memanggilku. Ayah Hun
untuk Sehun, dan ayah Han untuk Luhan. Hanna punya dua ayah, namun
itu sama sekali tidak membingungkan Hanna. Ayah HunHan, sikap Luhan
yang lembut dan sikapku yang dingin.
“ Ayah Hun, lihat Hanna pakai baju
warna pink. Hanna cantik kan?” ujar Luhan menyuruh Hanna berputar .
aku hanya menggangguk, pandanganku masih tertempel di Koran pagi ini.
“ sehun..”
“ Iya cantik.” Gumamku masih enggan
menoleh ke arah mereka.
“ Sehun, kau bahkan tidak melihat
Hanna, bagaimana kau tahu kalau dia cantik?” Luhan marah “
Sehun!!”
aku melipat Koran denga emosi,
memandang sebal kea rah mereka “ Aku kan sudah bilang cantik!”
“ Kau menyebalkan Sehun.”
Luhan menatapku dingin, lalu mengajak
Hanna kembali ke kamar. Ini menyebalkan. Selalu seperti ini. Aku
selalu menjadi pihak yang ditinggalakan. Aku sudah terlalu banyak
mengalah, aku sudah cukup lama menahan emosi, aku ingin semuanya
berhenti.
Bagaimana cara menghilangkan ini semua?
Bagaimana cara megembalikan apa yang
dulu aku miliki?
TBC.
No comments:
Post a Comment