Monday 28 April 2014

DIFFERENT






Gay
Mungkin orang akan jijik mendengar istilah itu
Apa itu kesalahan?

TIDAK!!
Menjadi gay bukanlah kesalahan. Aku juga sama seperti orang yang mengaku dirinya normal. Aku juga memiliki cinta, hanya saja kebetulan orang yang kucintai memiliki jenis kelamin yang sama denganku. Apa ini yang membuatku berbeda? Apa ini yang kalian bilang salah?

Aku mencintainya, mencintai Luhan. Itu saja sudah cukup. Cinta memang gila, tak peduli dunia akan menganggap kami aneh. Ini adalah perasaan yang tak butuh logika untuk memahaminya.

Luhan adalah pria yang kucintai, sudah dua tahun kami hidup bersama, saling mendampingi saat susah dan senang, saat sakit maupun sehat. Dan selamanya kami akan bersama.

Selamanya…

Adalah kata yang sulit diartikan.

Apa benar selamanya kami akan terus seperti ini?

Entahlah, yang aku tahu ini adalah kehidupanku. Aku tidak pernah tidur sendirian, ada Luhan dalam dekapanku, menghembuskan nafas hangat didadaku setiap malam. Ada Luhan yang memasang lilin aroma terapi dan memasak di pagi hari. Aku akan pulang malam karena kerja dan ada Luhan yang menunggu kedatanganku di apartment kecil kami.

Kami akan menghabiskan malam minggu dengan duduk di sofa panjang menonton film favorit kami. Luhan akan bersandar di tubuhku. Tak jarang aku menemukan Luhan tertidur disana, mata terpejam, dan itu membuatku ingin menciumnya lagi dan lagi.

Aku mencintaimu Luhan.

Sehun dan Luhan..

Selamanya bersama….


Bagiku ini adalah romansa terindah, bahkan terlalu indah. Terkadang aku tak percaya kalau aku memilikinya. Kebahagiaan, ada dalam genggamanku.



****

Ingin rasanya aku tertawa melihat Luhan yang berusaha keras memotong kepiting di dapur. Pisau tidak bekerja dengan baik dan Luhan tampak menyerah. Dia mendelik sebal kearahku. Aku hanya terkekh ringan.

“ Apa? Kau sendiri yang bilang bisa melakukannya sendiri. Kau bahkan melarangku masuk area dapur,” kataku.

Luhan melempar pisaunya ke meja dan menghiraukanku.

“ Hei, jangan marah begitu.”

“ Jangan tertawa!! Aku malas mendengar suaramu.”

Luhan marah, dia marah dan megunci pintu kamar kami. Tapi aku tahu, dia tidak pernah benar benar marah. Kemarahan itu pasti akan sirna lebih cepat dari yang di bayangkan.

“ Luhan ayolah, aku lapar, jangan begini.”

“ Jadi kau menikahiku hanya untuk jadi pelayanmu? Memasak setiap hari?” suaranya melengking di dalam kamar.

“ Maafkan aku, aku kan hanya bercanda. Ayolah, buka pintunya.”

“ Tidak! Pergi dari sana!” usir Luhan

Aku menyerah.

Bukan karena Luhan keras kepala, bukan karena ku lapar. Tapi aku tahu aku salah. Jadi aku memutuskan untuk masak sendiri. Aku memasak kepiting itu serta menyiapkan meja makan. Setelah semuanya selesai aku kembali mendatangi kamar dan mengetuk pintu.

“ Luhan ayo makan. Aku sudah masak semuanya.”

Tidak ada jawaban

“ Lu..”

Pintu dibuka dan wajah cemberut Luhan muncul. Masih memakai celemek kuning. Aku menggenggam tangannya, menarik Luhan ke meja makan.

“ Tada! Aku sudah memasak semuanya.” Kataku lalu mencium pipi Luhan. “ Jangan marah lagi oke. Kau tidak lucu kalau sedang marah.”

‘ Siapa bilang aku lucu? Aku ini tampan.” Sergah Luhan
“ Iya, tampan..” sekali lagi aku mecuri ciuman kecil di sudut bibirnya “ … dan lucu”

Sehun dan Luhan…

Selamanya bersama….





Sehun dan Luhan..



Tak selamanya berdua..




Waktu menunjukkan pukul 10 malam. Aku lelah, sangat lelah. Hari ini banyak sekali pekerjaan di kantor. Yang aku butuhkan hanya memejamkan mata, lalu tidur. Tapi hari ini Luhan tampaknya sedikit lebih bersemangat saat merangkak di atas ranjang, berbaring di sebelahku, memeluk tubuhku, dan mengatakan sesuatu yang tidak aku mengerti

“ Sehun, aku ingin punya anak.”

Rasa kantuk tiba tiba hilang entah keman. Aku memandang mata Luhan dalam dalam.

“ Apa?”

Luhan mengangguk, wajah polos itu…” Aku ingin punya anak.’”

Seketika tawaku meledak. Apa Luhan sudah gila? Punya anak? Luhan tidak punya rahim untuk disinggahi bayi. Apa dia sudah gila?

“ Bagaimana bisa Luhan?”

“ adopsi satu dari panti asuhan Sehun?”

Saat itu juga aku bangkit, aku menatap Luhan dengan mata tidak percaya. Luhan boleh saja memintaku terjun ke jurang atau memotong nadiku sendiri. Luhan boleh meminta berlian sebesar mobil, Aku akan bekerja hingga ke liang kubur jika itu yang memang Luhan inginkan. Tapi satu ini… sama sekali tak terpikirkan olehku.

“ Luhan.. adopsi anak? Buat apa?”
“ Dua orang menikah untuk punya anak. Mereka bahagia saat ada anak dalam hidup mereka.”

Mereka? Mereka ..yang normal. Sehun dan Luhan bukanlah mereka. kita menikah bukan atas dasar punya anak, merencanakannya saja tidak, memikirkannyapun juga tidak.

“ Luhan kita berbeda, apa yang akan orang katakan? Melihat dua pria menggendong bayi?”

“ Siapa yang peduli apa kata mereka? kita hanya ingin punya anak, titik.” Ucap Luhan bersikeras.

Aku tak suka Luhan menambahkan kata ‘kita’ dalam kalimatnya. Ini bukan kemauan kami berdua. Ini kemauan di satu pihak. Ini mau Luhan.

“ Oh ya? Punya anak. Kau kira semudah itu mengurusnya, menyekolahkannya, menjaganya sampai dewasa?” Aku berusaha menjabarkan semua kenyataan yang ada “ Bisakah kau mengganti popok bayi? Bisakah kau menyusuinya lewat dot? Membuat susu dengan takaran yang benar?”

“ Kita bisa belajar..” gumam Luhan

Kita? Tidak ada kita dalam soal ini

“ Tidak Luhan, aku tidak setuju!” aku menutup topic ini. Selesailah pembicaraan konyol ini. Tidak ada adopsi anak. Tidak ada tambahan satu anggota di hidup kami. Hanya ada Sehun dan Luhan..

Selamanya bersama..

Malam ini Luhan tidak tidur bersamaku. Dia tidur di sofa, tinggallah ruang kosong disini.
Aku tak habis pikir tentang Luhan. Apa hidup seperti ini tidak cukup baginya? Apa aku tidak cukup untuk Luhan? Mengapa Luhan meminta lebih?

Ini tidak adil.

Bagiku ini tidak adil.

Luhan tiba tiba berubah jadi orang lain saat kemauannya tidak dipenuhi aku tidak mendengar sambutan selamat pagi hangat sejak hari itu. Luhan tidak masak, menghindari kecupanku, dia membisu, dia seperti orang asing.

Aku kira jika pulang ke rumah malam hari mungkin kemarahan Luhan sudah surut. Kami lupakan pembicaraan kemarin dan kami akan kembali seperti semula. Namun sepertinya aku salah.

Aku pulang, melihat tidak ada makanan di meja makan. Luhan duduk di sofa terdiam dengan buku di tangannya. ‘Membaca Sifat dan Karakter Anak.’

“ Luhan..”

Luhan mematung. Dia tetap membaca buku itu, menghiraukan kehadiranku. Lalu selimut serta bantal di sofa memperkuat pendiriannya bahwa Luhan tidak akan tidur bersamaku – lagi. Kami tidak akan bersama.

“ Terserah apa maumu Luhan!” Aku mebanting tas kerjaku ke lantai dan pergi ke kamar.

Menurutku ini sudah keterlaluan. Luhan sudah kelewatan, dia keras kepala, dia berhati batu, dia buta, ya , dia buta. Keinginan membutakan hatinya hingga jadi seperti ini.

Atau…

Aku yang sebenarnya keras kepala, berhati batu, buta? Kalau aku memenuhi keinginan luhan, pasti semuanya akan selesai. Tapi aku tak menginginkan anak. Aku hanya maua hidup seperti ini. Hanya berdua, tanpa siapa siapa lagi.

Mengapa ini tidak cukup?

Mengapa Luhan meminta lebih?

***

Malam ini aku pulang dalam keadaan yang cukup lelah, dan betapa kagetnya aku saat melihat apartment tiba tiba berubah. Ada sesuatu yang aneh. Ruang kosong di sebelah pintu kamar terbuka dan Luhan ada di sana. Semua pernak pernik keperluan bayi tersusun rapi. Box bayi, baby walker, bonek boneka di rak, lemari penuh pakaian bayi, buku cerita anak.. kapan Luhan mempersiapkan ini semua?

“Luhan ini apa?”

Luhan membalikkan tubuhnya, matanya bengkak.

“ Sehun kumohon,” suaranya parau. “ saat aku katakan aku mau punya anak, aku tak main main. Aku menginginkannya, sangat menginginkannya.”

Aku mendekat untuk memeluknya tapi Luhan mundur menjauihiku.

“ Sehun, aku menginginkannya dari dulu. Aku mencintaimu, aku akan menuruti semua maumu, tapi aku mohon bisakah kau turuti permintaannku yang satu ini?”

TIDAK!!

Luhan menyentuh box bayi di belakangnya “ Kita akan punya anak yang tidur disini.” Lalu Luhan menuju baby walker di lantai “ Kita kan memperhatikan anak kita belajar berjalan memakai benda ini.” Luhan mengambil buku cerita dan menggenggam tanganku “ Kau bisa membacakannya cerita setiap malam. Tidakkah kau menginginkannya?”

Aku ingin sekali menjawa tidak, tidak tidak. Aku tidak mau ada bayi, anak, apapun itu. Aku hanya mau kehidupan kami seperti dulu. Apa yang salah dengan hidup seperti ini? Kami bahagia, kami senang, kami tertawa. Apa yang salah hingga Luhan megubah semuanya?

“ Jika kau Tanya apa yang paling aku inginkan dalam hidupku..” Luhan meneteskan air mata “ Ini Sehun. Aku ingin ini.”

Seketika aku kembali ingat, cinta itu gila. Lebih gila dari saat kau mnyadari kau mencintai sesama jenis, lebih gila dari sekedar mengatakan ‘ aku cinta padamu’ dengan keras di hadapan semua orang, lebih gila dari sekedar mengatakan ‘ aku menikahi Luhan dan aku mencintainya’. Ini gila saat hatiku jatuh di kedalaman, berenang bersama luka luka yang lain, tapi…

“ Ya”

Kata ‘ya’ yang satu ini membawa Luhan kembali padaku. Kembali memelukku seperti hari hari yang lalu. Luhan kembali tidur lagi bersamaku.
“aku mencintaimu Sehun.” Kalimat itu kembali mengalun lembut ditelingaku.

***

Aku sesekali membayangkan bagaimana keluarga kecil kami di masa depan. Kami pasti harmonis, hangat, dan penuh kebahagiaan. Kini semua hampir sempurna, aku memiliki Luhan, apartment sederhana, dua mangkuk yang warnanya selalu sama, dan kamar beraroma segar. Ini mendekati sempurna, aku bisa merasakannya.

Luhan lebih bahagia. Aku melihatnya berseri daripada sebelumnya. Sebuah perubahan drastis yang terjadi pada Luhan ketika bayi perempuan berumur tiga bulan ada di lengannya.

“ Lihat Sehun, Hanna menguap, dia sangat lucu.” Luhan menimang bayi itu gemas. Dia tak henti hentinya tersenyum memandangi anak itu.

Mungkin ini keputusan yang tepat. Luhan tidak kesepian lagi saat aku tinggal kerja, ada Hanna, anak perempuan kami yang akan menemani hari hari Luhan.

“ dia sangat cantik saat tidur, dia seperti malaikat iya kan? Terima kasih Sehun, kau membuatku bahagia.”

Bahagia?

Aku tak bisa ungkapkan apa aku bahagia atau tidak. Ini bukan film action kesukaanku, juga bukan sup jamur favoritku. Ini anak. Hanna, anak perempuan yang aku tolak masuk ke dalam kehidupan kami.

Jadi..

Entahlah.

Hidupku hanya untuk Luhan dan jika Luhan bahagia.. maka… aku juga bahagia??


***

pukul 2

Pukul dua pagi aku terbangun karena suara tangisan yang memekakkan telinga di kamar sebelah. Aku melihat Luhan masih terlelap dan makhluk di sebelah tidak mungkin berhenti jika tidak ada satupun dari kami yang bergerak. Maka aku memutuskan untuk pergi kesana. Aku tidak pernah menggendong Hanna sebelumnya. Luhan lebih baik dariku, bagaimana posisi yang nyaman, bagaimana cara menidurkannya kembali. Luhan berhasil mengikuti semua petunjuk dari buku itu.

Aku tidak membacanya. Aku juga tidak peduli.

Hanna menangis tanpa henti. Mungkin dia lapar, popoknya basah. Siapa yang tahu. Aku berada disini bukan untuk mengeceknya, tapi untuk ‘menghentikan’ tangis itu. Ini jam dua pagi, seharusnya aku dengan nyaman tidur bersama Luhan di kamar tanpa perlu mendengar suara itu. Aku mengambil bantal beruang milik Hanna, aku menutup wajah anak itu.

Tangisnya teredam.

Satu detik..

Aku sangat mencintai Luhan, terlalu mencintainya.

Dua detik..

Kami akan baik baik saja tanpa seorang anak

Tiga detik…

Aku memang orang yang egois dan serakah. Aku hanya ingin Luhan mencintaku dan tidak membagi bagi rasa itu pada orang lain.

Empat detik…

“ karena ada Hanna aku bahagia Sehun”

Lima detik..

Hanna adalah kebahagiaan Luhan.

Suara tangis Hanna mulai melemah di balik bantal.

Aku segera menarik bantal itu. Apa yang aku lakukan? Panik. Takut. Hanna terbatuk dan mulai menangis lagi.

Aku memang egois. Aku hanya ingin memiliki Luhan sendiri. Tapi aku sadari Luhan punya sesuatu yang membuatnya bahagia. Lalu bagaimana denganku?

Apa aku masih menjadi alasan Luhan bahagia semenjak ada Hanna??

***

Dua tahun.

Hanna sudah berumur dua tahun dan rasa benciku padanya tetap sama. Tidak berkurang malah lebih bertambah seiring berjalannya waktu ke depan bukan ke belakang. Ya aku tahu, aku hidup kea rah depan bukan kembali ke belakang. Ke masa lalu..

Masa saat aku dan Luhan adalah dua orang yang hidup bersama.

Hanna, Luhan menyayangi anak itu. Jelas jelas sangat menyayanginya. Dia rela bangun pagi hanya untuk membuatkan bubur penuh nutrisi yang tentu itu membutuhkan waktu yang sangat lama.

“ Hanna mau pakai baju yang mana? “ Luhan menggendong Hanna sambil memilihkan baju untuknya . “ Yang itu ya, yang warna pink.”

Luhan menggandeng tangan kecil Hanna “ Ayah Hun.” Begitulah Luhan ajarkan Hanna memanggilku. Ayah Hun untuk Sehun, dan ayah Han untuk Luhan. Hanna punya dua ayah, namun itu sama sekali tidak membingungkan Hanna. Ayah HunHan, sikap Luhan yang lembut dan sikapku yang dingin.

“ Ayah Hun, lihat Hanna pakai baju warna pink. Hanna cantik kan?” ujar Luhan menyuruh Hanna berputar . aku hanya menggangguk, pandanganku masih tertempel di Koran pagi ini.

“ sehun..”

“ Iya cantik.” Gumamku masih enggan menoleh ke arah mereka.

“ Sehun, kau bahkan tidak melihat Hanna, bagaimana kau tahu kalau dia cantik?” Luhan marah “ Sehun!!”

aku melipat Koran denga emosi, memandang sebal kea rah mereka “ Aku kan sudah bilang cantik!”

“ Kau menyebalkan Sehun.”

Luhan menatapku dingin, lalu mengajak Hanna kembali ke kamar. Ini menyebalkan. Selalu seperti ini. Aku selalu menjadi pihak yang ditinggalakan. Aku sudah terlalu banyak mengalah, aku sudah cukup lama menahan emosi, aku ingin semuanya berhenti.

Bagaimana cara menghilangkan ini semua?
Bagaimana cara megembalikan apa yang dulu aku miliki?

TBC.

No comments:

Post a Comment