Monday 28 April 2014

DIFFERENT (PART 2)



Different part 1

--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Part 2


Aku mendengar suara berisik di luar. Aku membuka mataku dan tidak menemukan Luhan disampingku.

Enam tahun berlalu dengan cepat dan aku selalu bangun dalam keadaan seperti ini. Aku masih Sehun yang dulu, bekerja 8 jam penuh di kantor, mengenakan kemeja dengan dasi miring dan Luhan akan membetiulkannya sebelum pergi.

Hari ini adalah hari pertama Hanna masuk sekolah dasar. Luhan sangat sibuk sejak pukul 5, siapkan ini dan itu.

“ Selamat pagi ayah Hun.” Sapa Hanna riang.

“ Pagi,” balasku malas

“ Apa ayah tidur nyenyak?”

“ Hmm..” jawabku singkat. Tidur nyenyak.. yang benar saja, aku sudah tidak pernah bisa tidur nyenyak. Enam tahun lamanya dan aku selalu terbangun tengah malam dan memikirkan ini itu. Setiap malam.

“ Tapi sepertinya ayah masih ngantuk.” Kata Hanna polos “ Ayah Han..”

“ apa sayang.”

“ Ayah Hun punya kantung mata. Temanku Zitao juga punya dan Xiumin bilang orang yang punya kantung mata berarti kurang tidur.”

“ Oh benarkah?” Luhan membelai kepala Hanna lalu memandangku “ Ayah Hun sedang banyak pekerjaan. Dia jadi sangat sangat lelah dan mungkin kurang tidur.”

“ Kalau begitu ayah Hun tinggal di rumah saja bersama ayah Han. Tidak usah bekerja dan tidur yang banyak.” Usul Hanna.

Luhan tertawa, mengecup pucuk kepala Hanna. “ Lalu siapa yang mengantar Hanna ke sekolah?”

“ Aku bisa berangkat sendiri ayah, aku kan sudah besar. Sudah enam tahun.”

“ Sudah jangan mengobrol terus. Hanna habiskan sarapanmu, kita berangkat. Kau tak mau terlambat di hari pertamamu kan!” kataku dingin.

Luhan memberikan tas hello kitty ke tanganku beserta botol minum kecil. Sebelum berangkat dia mencium Hanna berbicara beberapa patah nasihat. “ Jangan nakal, dengarkan apa kata guru, perhatikan pelajaran. Janji?”
Hanna mengaitkan kelingkingnya ke jari Luhan sambil tersenyum ceria “ Aku janji ayah Han.”

“ Hati hati di jalan.” Kata Luhan dengan wajah cemas.

“ kami berangkat.”

“ Sehun!” Luhan menahan tangaku.

“ Apa?”

“ Dasimu.”

Luhan masih Luhan yang dulu. Tangannya terulur membetulkan dasi dan satu kecupan yang… aku lupa kapan terakhir kali Luhan menciumku karena kecupan itu lebih banyak ditujukan ke Hanna.

“ Hati hati menyetir mobilnya sayang.”

Aku juga lupa kapan terakhir kali Luhan memanggilku ‘sayang’ karena panggilan itu sering di gunakan untuk memanggil Hanna, sampai aku tak pernah menegngok lagi jika Luhan memanggil ‘sayang’.

“ aku mencintaimu.”

Inilah satu satunya pembeda antara perlakuan Luhan terhadapnya dan Luhan terhadap Hanna. Luhan akan bilang ‘ aku menyayangimu’ kepada Hanna dan… ‘aku mencintaimu’ padaku.

Rasa sayang dan rasa cinta itu berbeda.

Luhan masih mencintaiku.

Itulah yang terpenting.



Baru kali ini aku menyetir dengan kecepatan di bawah 40 km/jam, mengingat pesan Luhan untuk berhati hati, bahwa sekarang dia bersama Hanna, bukan hanya sendiri.

“ Ayah, ayah, apa sih artinya buaya darat?”

“ A-apa?”

“ buaya darat ayah.”

Kau tahu dari mana kata kata itu?” tanyaku was was “ Siapa yang mengajarkannya padamu?”

“ Kris bilang dia mau jadi pacarku.”

“ Kris? Temanmu yang di TK dulu?”

Hanna mengangguk. “ Tapi Xiumin bilang jangan berpacaran dengannya karena Kris buaya darat. Nah artinya buaya darat itu apa ayah? Aku tak mengerti.”

“ Hanna, kau tidak boleh pacaran. Kau masih enam tahun. Ayah melarangmu!” kataku cukup keras. Aku memang tak peduli dengan apa yang Hanna lalukan tapi melihat anak umur 6 tahun pacaran bukanlah sesuatu yang wajar. Walau aku tahu apa yang aku lakukan dengan Luhan juga tidak wajar.

“ Lalu buaya darat itu apa yah?”

buaya darat..ah, bagaimana aku menjelaskan pada anak umur 6 tahun.

“ Buaya darat… err.., ya buaya. Buaya yang ada di darat. Hanna sering liat buaya yang di air, nah kalau yang ini adalah buaya yang di darat.” Konyol. Aku hampir menertawakan diriku sendiri yang berbicara seperti ini. Luhan harusnya ada di sini membantuku.

Hanna mengerutkan keningnya bingung “ Maksudnya yah? Kris tidak mirip buaya.”

Beruntung kami sudah sampai di depan gerbang sekolah. Aku membuka seatbelt Hanna. Sebelum Hanna turun aku menatapnya lekat lekat dan berbicara serius.

“ Hanna dengarkan aku. Tidak peduli Kris buaya atau bukan yang terpenting kau tidak boleh pacaran dengan siapapun.”

“ bagaimana dengan Xiumin? Dia juga temanku di TK. Dia baik sekali, dia-“

“ Tidak juga Xiumin. Kris, Zitao, atau siapapun itu. Kau tidak boleh pacaran, oke!”

Aku bukanlah Luhan yang akan mengaitkan kelingking dan berjanji. Tapi satu anggukan kecil Hanna membuatku meras Hanna akan memegang janjinya.

“ Belajar yang rajin.” Ujarku . aku mengamati Hanna berlari memasuki gerbang hingga sosok itu menghilang.

Aku tertawa sendiri membayangkan ekspresi Hanna tentang jawaban buaya darat selama perjalanan ke kantor. Wajah itu berkerut lucu, tetap menerima apapun yang kuucapkan. Ini membingungkan.

Aku seperti menemukan diriku…

Bahagia bersama Hanna..


***

Hampir dua bulan setelah Hanna bersekolah dan gadis kecil itu sangat pintar. Dia punya banyak teman, juga penggemar yang memberinya cokelat dan permen. Hanna tidak berpacaran, setidaknya itu membuatku lega karena jika Luhan tahu pembicaraan kami waktu itu, aku yakin dia pasti akan shock.

Namun hari ini…

Aku tidak disambut dengan suara riang anak itu sepulang kerja. Biasanya aku akan menemukan si kecil dengan rambut ikal yang terkuncir rapid an tersenyum riang menyambutku. Hari ini sangat berbeda. Aku menemukan Hanna menunduk sedih di sofa dengan Luhan yang memeluknya.

“ Ada apa? Hanna kenapa?” tanyaku was was. Luhan memandangku, matanya berkaca kaca. Aku tidak mengerti. Lalu aku melihat sebuah gambar di tangan Hanna. Gambar itu cukup bagus, kecuali warnanya yang keluar garis. Pada intinya aku menganggap itu gambar yang bagus. Dua pria dewasa dan anak perembuan kecil di tengahnya, mereka bergandengan tangan dan gunung hijau serta pohon tinggi jadi latar belakangnya.

“ Hanna, apa ini gambarmu?”

Hanna menganggukkan kepala. Aku bisa melihat setetes air mata mengalir.

“ Apa ini ayah Hun, Hanna, dan ayah Han?”

Hana mengagguk lagi, kemudian barulah Hana bercerita sambil menangis.

“ Guru Lee menyuruh kami menggambar tentang keluarga. Aku menggambar kita sekeluarga pergi ke pegunungan, lalu…” Hanna terisak “ Mereka bilanng gambarku aneh. Mereka bilang aku tidak mungkin punya dua ayah. Keluarga selalu terdiri dari ayah, ibu, anak..”

Aku merasa kali ini masalahnya lebih rumit dari sekedar buaya darat. Hanna tidak mengenal sosok ibu. Tentu. Dia punya dua ayah dan hari ini pun akhirnya tiba. Pertanyaan abstrak yang beserta segala kemungkinan yang aku dan Luhan takutkan tiba di hari ini.

Luhan ikut menngis, dia tidak tahu apa yang harus di perbuat. Aku mencoba memahami keadaan ini.

“ Hanna…” aku berlutut di depan anak itu, menghapus air matanya “ Dengarkan ayah Hun baik baik. Tidak peduli apa yang mereka katakan, tidak peduli apa yang mereka lihat, hal pertama yang harus Hanna ingat adalah Hanna punya keluarga. Hanna tahu ada berapa banyak anak yang tidak punya keluarga?”

Hanna menggeleng.

“ Banyak Hanna. Banyak.” Dan kau adalah salah satunya jika kami tidak mengadopsimu.

“ Hanna punya keluarga. Hanna punya dua ayah yang menyayangi Hanna. Dan itu sudah cukup. Yang terpenting adalah Hanna bahagia punya keluarga yang seperti ini. Ayah Han menyayangi Hanna, baginya Hanna adalah kebahagiaannya. Hanna sayang ayah Ha kan?”

“ Sangat sayang.” Hanna memeluk Luhan sambil menangis.

Masalah ini berat, tapi sekali lagi kami bisa mengatasinya. Hidup ini memang sulit, tapi bersama keluarga semuanya bisa diatasi.

Luhan mengeringkan air mata Hanna dan berkata “ Ayah Hun juga menyanyangi Hanna, iya kan?”

Aku belum pernah memeluk Hanna sebelumnya. Perasaan benci lebih mendominasi hari hari kemarin dan keengganan untuk menyentuh si kecil sejak dia berada di hidupku. Hari ini aku merasakannya, pelukan Hanna, dan rasanya berbeda. Pelukan Hanna hangat, tubuh kecilnya menempel menjadi satu di hatiku. Aku tidak pernah menangis seperti Luhan, tapi rasanya sulit menahan air mata saat Hanna berbisik pelan

“ aku menyanyangi ayah Hun, sangat.”

Aku membenci Hanna.

Seharusnya aku tahu itu dari awal. Hanna penuh kebahagiaan, seperti Luhan. Bahkan setelah aku menempelkan gambar itu di meja kantor, setiap kali memandangnya, aku serasa ingin segera pulang. Aku mau bertemu Luhan, bertemu Hanna, anak perempuan kami.



Saat liburan kenaikan kelas aku mengajak keluarga kecilku ke guung. Aku ingin membuat gambar Hanna menjadi kenyataan. Hanna sangat gembira saat itu. Dia berlari lari dengan kincir angin di tangannya.

Luhan bersandar di kelukan leherku, menikmati udara segar. “ Hanna cepat sekali besar.”

“ Dia sudah berumur enam tahun. Keapa enam tahun seolah berjalan dengan begitu cepat? Ini seperti baru kemarin dia masih berumur 3 bulan dan menangis setiap saat.” Luhan tertawa pelan. Luhan memlukku. “ Terima kasih Sehun.”

“ Untuk liburan ini? Tidak masalah, aku ..”

“ Bukan. Bukan itu.” Koreksi Luhan

“ lalu?”

Luhan tersenyum. Senyuman yang membuatku jatuh cinta padanya sembilan tahun yang lalu.

“ Terima kasih sudah membuatku bahagia. Aku bahagia karena ada kau dan Hanna.”

Bagiku apapun akan aku lakukan untuk membuat Luhan bahagia. Tidak akan pernah ada kata cukup. Aku janji akan terus membahagiakannya, membahagiakn Luhan.. dan Hanna..

***

Hari senin.

Hari ini Hanna bilang pada Luhan bahwa orang tua Xiumin mengajaknya, Zitao, dan beberapa teman yang lain pergi ke kebum binatang. Luhan menggigit bibirnya, peresaan ragu melepas izin.

“ Bolehkan ayah Han? Kumohon.” Rajuk Hanna menarik narik celemeknya.

“ Entahah Hanna.. ayah tidak yakin..”

“ Aman kok. Ayah Xiumin yang menyetir dan menjaga kami disana. Ayolah. Hanna belum pernah melihat lumba lumba.”

Luhan melirik ke arahku, memohon bantuanku. ‘ katakana tidak Sehun. Katakana Tidak.’

“ Kita bisa pergi di akhir pekan Hanna. Bersama ayah Han dan ayah Hun.” Kataku

Hanna duduk di pangkuanku, memeluk leherku. Mata itu mulai mengerjap sambil memohon. “ Tapi pertunjukan lumba lumbanya hanya hari senin.”

Aku mengembalikan tatapan pada Luhan. Hanna terus berkata ‘kumohon, please, ayolah’ membuat pendirianku runtuh.

Luhan mengizinkannya.

“ Tapi ingat, jangan dekati binatang binatang itu. Jangan memasukkan tanganmu ke kandang, walaupun itu hewan terjinak sekalipun. Mengerti!”

“ Mengerti!” sorak Hanna dan memeluk Luhan lebih lama dari biasanya.

“ Aku berangkat sekarang ayah.”

Mobil Xiumin besar. Beberapa anak di dalamnya terlihat senang dengan kedatangan Hanna. Seperti biasa Luhan mencium Hanna sebelum anak itu pergi dan melambaikan tangan.

“ Goodbye!”

Hanna pintar berbahasa Inggris, namun tampaknya kali ini dia salah menggunakan kata. Seharusnya ‘ see you’ yang berarti sampai jumpa. Bukan ‘goodbye’ yang berarti selamat tinggal.

Perasaan Luhan tidak enak.

Gadis kecilnya tidak bermaksud mengucapkan kata ‘goodbye’, dia tidak mengucapakan kata perpisahan dengan sengaja.

Tapi kecelakaan itu juga tidak disengaja.

Mobil Hyundai milik Xiumin tertabrak truk besar saat perjalanan pulang. Ada delapan orang di dalamnya.

Dua orang luka ringan, lima luka berat, dan satu tewas di tempat.

Hanna.

Korban meninggal kecelakaan maut itu.

Luhan merasakan tubuhnya berubah jadi setumpuk pasir. Tak ada tulang yang menyanggah tubuhnya untuk tetap berdiri. Dan kata kata dokter itu menyeruak ke dalam telinga kami.

“ maaf”

Luhan tidak percaya. Begitupun aku yang memeluknya. Luhan meronta dengan seluruh kekuatan yang ada.

“ Tidak! Itu bukan Hanna anak kita, iya kan Sehun? Katakan itu bukan Hanna. Mereka pasti salah.”

Aku juga berharap bahwa berita ini hanya bohong, ini merupakan kesalahan terbesar dan ini tidak lucu. Sosok yang di bawah kain putih itu bukan Hanna.

“ Aku baru memegang tangannya tadi pagi, aku baru memasak untuknya tadi pagi, aku baru memeluk dan menciumnya. Ini tidak mungkin.. jangan ambil Hanna..kumohon..”

aku berharap seribu kali dalam hati. Aku berharap Tuhan tidak mengambil Hanna, jiwa luhan. hidup kami akan berbeda tanpa Hanna.

Tetapkan terasa bahagia seperti dulu?

Berbeda

Ini tentu berbeda.

Terasa ada ruang kosong di apartment kami. Aku merasa kekosongan yang nyata. Luhan terus berada di kamar Hanna. Luhan mengaku belum pernah pergi ke pemakama sekalipun, dan pemakaman pertama yang dia datangi adalah pemakaman anaknya.

“ Kenapa? Dari banyaknya orang kenapa harus Hanna, kenapa bukan Zitao, Xiumin, ataupun siapapun itu. Kenapa harus Hanna?”

Kenapa itu juga yang aku pikirkan. Aku tak bisa merelakan kepergiannya seperti ini. Tidak disaat aku mulai menyayangi Hanna.

“ Sehun, aku tidak mau Hanna pergi. Kembalikan Hannaku. Aku aka melakukan apapun agar Hanna bisa kembali.”

Tangis Luhan menemaniku sepanjang malam. Setiap hari.

Tiada henti.

Kutukankah ini semua?

Karmakah?

Aku memang pernah berharap Hanna pergi, menghilang dari hidupku. Aku benci anak itu. Dulu tidak ada secuil perasaan sayang bahkan aku pernah hampir membunuhnya karena keegoisanku. Disaat seperti ini aku berharap perasaan itu kembali. Aku harusnya tertawa senang karena kepergian Hanna, aku dapat berdua lagi dengan Luhan.

Tapi itu adalah Sehun yang dulu.

Sehun yang sekarang adalah Sehun yang menyayangi Hanna dan memasang gambar Hanna di kantornya. Aku pernah mewujudkan gambar itu jadi kenyataan.

Tapi gadis di gambar itu tidak ada lagi.

Dia sudah pergi.

Menyisakan aku dan Luhan berdua.

Luhan tak jarang bangun tengah malam saat hujan deras di sertai petir. Dia berlari ke kamar Hanna. Takut petirnya akan membuat Hanna ketakutan.

Lalu kosong.

Kamar itu kosong.

Tidak ada Hanna yang meringkuk ketakutan disana. Hanya ada kasurnya yang kosong. sepi.

Luhan juga bangun pukul lima. Dia menyiapkan sarapan untuk Hanna. Menunggu Hanna keluar dari kamar. Namun sampai puluk tujuh…

Hanna tidak pernah keluar dari sana.

Luhan gelisah. Luhan mondar mandir saat pukul enam sore. “ Kemana perginya Hanna? Apa dia bermain di rumah Xiumin? Sehun bisakah kau menjemput Hanna?”

Aku menatap Luhan sedih. Rasanya ingin mengatakan Hanna tidak ada disana. Hanna sudah tidak ada lagi.

“ apa dia sudah makan? Sebentar lagi makan malam. Kenapa Hanna belum pulang?”



Pagi itu juga, hari saptu. Luhan tiba tiba membangunkanku pukul enam pagi.

“ Sehun, ayo bangun.”

“ ada apa Lu, ini masih pagi.”

“ Apa kau tidak ingat, hari ini kau berjanji membawa Hanna ke kebun binatang.”

Aku menghela nafas, terpaksa berbohong.

“ Besok Luhan, kita pergi besok,”

“ Benarkah? Bukan hari ini?”

“ Bukan Luhan, besok..”
Aku menyelimuti tubuh Luhan lagi dan kembali tidur.

Ya besok.

Hari esok yang tak pernah datang.

Aku memluk tubuh Luhan erat. Setelah setahun berlalu,baru pertama kalinya aku meneteskan air mata. Sudah satu tahun sejak kepergian Hanna. Mereka bilang tidak ada yang bisa di perbuat dengan otak Luhan yang terus berdelusi – menganggap Hanna sang anak masih bersama kami.

“ Aku mencintaimu, juga menyayangi Hana.” Bisikku di telinga Luhan


Karmakah ini?

Apa ini balasan dari Tuhan atas segala dosa kami? Atas perilaku menyimpang kami?

Kalau ini karma.. kenapa harus mereka yang menaggung,

Kenapa harus Hanna?

Kenapa harus Luhan?

Tuhan.. karma berikutnya biar aku saja yang menaggung.


DIFFERENT






Gay
Mungkin orang akan jijik mendengar istilah itu
Apa itu kesalahan?

TIDAK!!
Menjadi gay bukanlah kesalahan. Aku juga sama seperti orang yang mengaku dirinya normal. Aku juga memiliki cinta, hanya saja kebetulan orang yang kucintai memiliki jenis kelamin yang sama denganku. Apa ini yang membuatku berbeda? Apa ini yang kalian bilang salah?

Aku mencintainya, mencintai Luhan. Itu saja sudah cukup. Cinta memang gila, tak peduli dunia akan menganggap kami aneh. Ini adalah perasaan yang tak butuh logika untuk memahaminya.

Luhan adalah pria yang kucintai, sudah dua tahun kami hidup bersama, saling mendampingi saat susah dan senang, saat sakit maupun sehat. Dan selamanya kami akan bersama.

Selamanya…

Adalah kata yang sulit diartikan.

Apa benar selamanya kami akan terus seperti ini?

Entahlah, yang aku tahu ini adalah kehidupanku. Aku tidak pernah tidur sendirian, ada Luhan dalam dekapanku, menghembuskan nafas hangat didadaku setiap malam. Ada Luhan yang memasang lilin aroma terapi dan memasak di pagi hari. Aku akan pulang malam karena kerja dan ada Luhan yang menunggu kedatanganku di apartment kecil kami.

Kami akan menghabiskan malam minggu dengan duduk di sofa panjang menonton film favorit kami. Luhan akan bersandar di tubuhku. Tak jarang aku menemukan Luhan tertidur disana, mata terpejam, dan itu membuatku ingin menciumnya lagi dan lagi.

Aku mencintaimu Luhan.

Sehun dan Luhan..

Selamanya bersama….


Bagiku ini adalah romansa terindah, bahkan terlalu indah. Terkadang aku tak percaya kalau aku memilikinya. Kebahagiaan, ada dalam genggamanku.



****

Ingin rasanya aku tertawa melihat Luhan yang berusaha keras memotong kepiting di dapur. Pisau tidak bekerja dengan baik dan Luhan tampak menyerah. Dia mendelik sebal kearahku. Aku hanya terkekh ringan.

“ Apa? Kau sendiri yang bilang bisa melakukannya sendiri. Kau bahkan melarangku masuk area dapur,” kataku.

Luhan melempar pisaunya ke meja dan menghiraukanku.

“ Hei, jangan marah begitu.”

“ Jangan tertawa!! Aku malas mendengar suaramu.”

Luhan marah, dia marah dan megunci pintu kamar kami. Tapi aku tahu, dia tidak pernah benar benar marah. Kemarahan itu pasti akan sirna lebih cepat dari yang di bayangkan.

“ Luhan ayolah, aku lapar, jangan begini.”

“ Jadi kau menikahiku hanya untuk jadi pelayanmu? Memasak setiap hari?” suaranya melengking di dalam kamar.

“ Maafkan aku, aku kan hanya bercanda. Ayolah, buka pintunya.”

“ Tidak! Pergi dari sana!” usir Luhan

Aku menyerah.

Bukan karena Luhan keras kepala, bukan karena ku lapar. Tapi aku tahu aku salah. Jadi aku memutuskan untuk masak sendiri. Aku memasak kepiting itu serta menyiapkan meja makan. Setelah semuanya selesai aku kembali mendatangi kamar dan mengetuk pintu.

“ Luhan ayo makan. Aku sudah masak semuanya.”

Tidak ada jawaban

“ Lu..”

Pintu dibuka dan wajah cemberut Luhan muncul. Masih memakai celemek kuning. Aku menggenggam tangannya, menarik Luhan ke meja makan.

“ Tada! Aku sudah memasak semuanya.” Kataku lalu mencium pipi Luhan. “ Jangan marah lagi oke. Kau tidak lucu kalau sedang marah.”

‘ Siapa bilang aku lucu? Aku ini tampan.” Sergah Luhan
“ Iya, tampan..” sekali lagi aku mecuri ciuman kecil di sudut bibirnya “ … dan lucu”

Sehun dan Luhan…

Selamanya bersama….





Sehun dan Luhan..



Tak selamanya berdua..




Waktu menunjukkan pukul 10 malam. Aku lelah, sangat lelah. Hari ini banyak sekali pekerjaan di kantor. Yang aku butuhkan hanya memejamkan mata, lalu tidur. Tapi hari ini Luhan tampaknya sedikit lebih bersemangat saat merangkak di atas ranjang, berbaring di sebelahku, memeluk tubuhku, dan mengatakan sesuatu yang tidak aku mengerti

“ Sehun, aku ingin punya anak.”

Rasa kantuk tiba tiba hilang entah keman. Aku memandang mata Luhan dalam dalam.

“ Apa?”

Luhan mengangguk, wajah polos itu…” Aku ingin punya anak.’”

Seketika tawaku meledak. Apa Luhan sudah gila? Punya anak? Luhan tidak punya rahim untuk disinggahi bayi. Apa dia sudah gila?

“ Bagaimana bisa Luhan?”

“ adopsi satu dari panti asuhan Sehun?”

Saat itu juga aku bangkit, aku menatap Luhan dengan mata tidak percaya. Luhan boleh saja memintaku terjun ke jurang atau memotong nadiku sendiri. Luhan boleh meminta berlian sebesar mobil, Aku akan bekerja hingga ke liang kubur jika itu yang memang Luhan inginkan. Tapi satu ini… sama sekali tak terpikirkan olehku.

“ Luhan.. adopsi anak? Buat apa?”
“ Dua orang menikah untuk punya anak. Mereka bahagia saat ada anak dalam hidup mereka.”

Mereka? Mereka ..yang normal. Sehun dan Luhan bukanlah mereka. kita menikah bukan atas dasar punya anak, merencanakannya saja tidak, memikirkannyapun juga tidak.

“ Luhan kita berbeda, apa yang akan orang katakan? Melihat dua pria menggendong bayi?”

“ Siapa yang peduli apa kata mereka? kita hanya ingin punya anak, titik.” Ucap Luhan bersikeras.

Aku tak suka Luhan menambahkan kata ‘kita’ dalam kalimatnya. Ini bukan kemauan kami berdua. Ini kemauan di satu pihak. Ini mau Luhan.

“ Oh ya? Punya anak. Kau kira semudah itu mengurusnya, menyekolahkannya, menjaganya sampai dewasa?” Aku berusaha menjabarkan semua kenyataan yang ada “ Bisakah kau mengganti popok bayi? Bisakah kau menyusuinya lewat dot? Membuat susu dengan takaran yang benar?”

“ Kita bisa belajar..” gumam Luhan

Kita? Tidak ada kita dalam soal ini

“ Tidak Luhan, aku tidak setuju!” aku menutup topic ini. Selesailah pembicaraan konyol ini. Tidak ada adopsi anak. Tidak ada tambahan satu anggota di hidup kami. Hanya ada Sehun dan Luhan..

Selamanya bersama..

Malam ini Luhan tidak tidur bersamaku. Dia tidur di sofa, tinggallah ruang kosong disini.
Aku tak habis pikir tentang Luhan. Apa hidup seperti ini tidak cukup baginya? Apa aku tidak cukup untuk Luhan? Mengapa Luhan meminta lebih?

Ini tidak adil.

Bagiku ini tidak adil.

Luhan tiba tiba berubah jadi orang lain saat kemauannya tidak dipenuhi aku tidak mendengar sambutan selamat pagi hangat sejak hari itu. Luhan tidak masak, menghindari kecupanku, dia membisu, dia seperti orang asing.

Aku kira jika pulang ke rumah malam hari mungkin kemarahan Luhan sudah surut. Kami lupakan pembicaraan kemarin dan kami akan kembali seperti semula. Namun sepertinya aku salah.

Aku pulang, melihat tidak ada makanan di meja makan. Luhan duduk di sofa terdiam dengan buku di tangannya. ‘Membaca Sifat dan Karakter Anak.’

“ Luhan..”

Luhan mematung. Dia tetap membaca buku itu, menghiraukan kehadiranku. Lalu selimut serta bantal di sofa memperkuat pendiriannya bahwa Luhan tidak akan tidur bersamaku – lagi. Kami tidak akan bersama.

“ Terserah apa maumu Luhan!” Aku mebanting tas kerjaku ke lantai dan pergi ke kamar.

Menurutku ini sudah keterlaluan. Luhan sudah kelewatan, dia keras kepala, dia berhati batu, dia buta, ya , dia buta. Keinginan membutakan hatinya hingga jadi seperti ini.

Atau…

Aku yang sebenarnya keras kepala, berhati batu, buta? Kalau aku memenuhi keinginan luhan, pasti semuanya akan selesai. Tapi aku tak menginginkan anak. Aku hanya maua hidup seperti ini. Hanya berdua, tanpa siapa siapa lagi.

Mengapa ini tidak cukup?

Mengapa Luhan meminta lebih?

***

Malam ini aku pulang dalam keadaan yang cukup lelah, dan betapa kagetnya aku saat melihat apartment tiba tiba berubah. Ada sesuatu yang aneh. Ruang kosong di sebelah pintu kamar terbuka dan Luhan ada di sana. Semua pernak pernik keperluan bayi tersusun rapi. Box bayi, baby walker, bonek boneka di rak, lemari penuh pakaian bayi, buku cerita anak.. kapan Luhan mempersiapkan ini semua?

“Luhan ini apa?”

Luhan membalikkan tubuhnya, matanya bengkak.

“ Sehun kumohon,” suaranya parau. “ saat aku katakan aku mau punya anak, aku tak main main. Aku menginginkannya, sangat menginginkannya.”

Aku mendekat untuk memeluknya tapi Luhan mundur menjauihiku.

“ Sehun, aku menginginkannya dari dulu. Aku mencintaimu, aku akan menuruti semua maumu, tapi aku mohon bisakah kau turuti permintaannku yang satu ini?”

TIDAK!!

Luhan menyentuh box bayi di belakangnya “ Kita akan punya anak yang tidur disini.” Lalu Luhan menuju baby walker di lantai “ Kita kan memperhatikan anak kita belajar berjalan memakai benda ini.” Luhan mengambil buku cerita dan menggenggam tanganku “ Kau bisa membacakannya cerita setiap malam. Tidakkah kau menginginkannya?”

Aku ingin sekali menjawa tidak, tidak tidak. Aku tidak mau ada bayi, anak, apapun itu. Aku hanya mau kehidupan kami seperti dulu. Apa yang salah dengan hidup seperti ini? Kami bahagia, kami senang, kami tertawa. Apa yang salah hingga Luhan megubah semuanya?

“ Jika kau Tanya apa yang paling aku inginkan dalam hidupku..” Luhan meneteskan air mata “ Ini Sehun. Aku ingin ini.”

Seketika aku kembali ingat, cinta itu gila. Lebih gila dari saat kau mnyadari kau mencintai sesama jenis, lebih gila dari sekedar mengatakan ‘ aku cinta padamu’ dengan keras di hadapan semua orang, lebih gila dari sekedar mengatakan ‘ aku menikahi Luhan dan aku mencintainya’. Ini gila saat hatiku jatuh di kedalaman, berenang bersama luka luka yang lain, tapi…

“ Ya”

Kata ‘ya’ yang satu ini membawa Luhan kembali padaku. Kembali memelukku seperti hari hari yang lalu. Luhan kembali tidur lagi bersamaku.
“aku mencintaimu Sehun.” Kalimat itu kembali mengalun lembut ditelingaku.

***

Aku sesekali membayangkan bagaimana keluarga kecil kami di masa depan. Kami pasti harmonis, hangat, dan penuh kebahagiaan. Kini semua hampir sempurna, aku memiliki Luhan, apartment sederhana, dua mangkuk yang warnanya selalu sama, dan kamar beraroma segar. Ini mendekati sempurna, aku bisa merasakannya.

Luhan lebih bahagia. Aku melihatnya berseri daripada sebelumnya. Sebuah perubahan drastis yang terjadi pada Luhan ketika bayi perempuan berumur tiga bulan ada di lengannya.

“ Lihat Sehun, Hanna menguap, dia sangat lucu.” Luhan menimang bayi itu gemas. Dia tak henti hentinya tersenyum memandangi anak itu.

Mungkin ini keputusan yang tepat. Luhan tidak kesepian lagi saat aku tinggal kerja, ada Hanna, anak perempuan kami yang akan menemani hari hari Luhan.

“ dia sangat cantik saat tidur, dia seperti malaikat iya kan? Terima kasih Sehun, kau membuatku bahagia.”

Bahagia?

Aku tak bisa ungkapkan apa aku bahagia atau tidak. Ini bukan film action kesukaanku, juga bukan sup jamur favoritku. Ini anak. Hanna, anak perempuan yang aku tolak masuk ke dalam kehidupan kami.

Jadi..

Entahlah.

Hidupku hanya untuk Luhan dan jika Luhan bahagia.. maka… aku juga bahagia??


***

pukul 2

Pukul dua pagi aku terbangun karena suara tangisan yang memekakkan telinga di kamar sebelah. Aku melihat Luhan masih terlelap dan makhluk di sebelah tidak mungkin berhenti jika tidak ada satupun dari kami yang bergerak. Maka aku memutuskan untuk pergi kesana. Aku tidak pernah menggendong Hanna sebelumnya. Luhan lebih baik dariku, bagaimana posisi yang nyaman, bagaimana cara menidurkannya kembali. Luhan berhasil mengikuti semua petunjuk dari buku itu.

Aku tidak membacanya. Aku juga tidak peduli.

Hanna menangis tanpa henti. Mungkin dia lapar, popoknya basah. Siapa yang tahu. Aku berada disini bukan untuk mengeceknya, tapi untuk ‘menghentikan’ tangis itu. Ini jam dua pagi, seharusnya aku dengan nyaman tidur bersama Luhan di kamar tanpa perlu mendengar suara itu. Aku mengambil bantal beruang milik Hanna, aku menutup wajah anak itu.

Tangisnya teredam.

Satu detik..

Aku sangat mencintai Luhan, terlalu mencintainya.

Dua detik..

Kami akan baik baik saja tanpa seorang anak

Tiga detik…

Aku memang orang yang egois dan serakah. Aku hanya ingin Luhan mencintaku dan tidak membagi bagi rasa itu pada orang lain.

Empat detik…

“ karena ada Hanna aku bahagia Sehun”

Lima detik..

Hanna adalah kebahagiaan Luhan.

Suara tangis Hanna mulai melemah di balik bantal.

Aku segera menarik bantal itu. Apa yang aku lakukan? Panik. Takut. Hanna terbatuk dan mulai menangis lagi.

Aku memang egois. Aku hanya ingin memiliki Luhan sendiri. Tapi aku sadari Luhan punya sesuatu yang membuatnya bahagia. Lalu bagaimana denganku?

Apa aku masih menjadi alasan Luhan bahagia semenjak ada Hanna??

***

Dua tahun.

Hanna sudah berumur dua tahun dan rasa benciku padanya tetap sama. Tidak berkurang malah lebih bertambah seiring berjalannya waktu ke depan bukan ke belakang. Ya aku tahu, aku hidup kea rah depan bukan kembali ke belakang. Ke masa lalu..

Masa saat aku dan Luhan adalah dua orang yang hidup bersama.

Hanna, Luhan menyayangi anak itu. Jelas jelas sangat menyayanginya. Dia rela bangun pagi hanya untuk membuatkan bubur penuh nutrisi yang tentu itu membutuhkan waktu yang sangat lama.

“ Hanna mau pakai baju yang mana? “ Luhan menggendong Hanna sambil memilihkan baju untuknya . “ Yang itu ya, yang warna pink.”

Luhan menggandeng tangan kecil Hanna “ Ayah Hun.” Begitulah Luhan ajarkan Hanna memanggilku. Ayah Hun untuk Sehun, dan ayah Han untuk Luhan. Hanna punya dua ayah, namun itu sama sekali tidak membingungkan Hanna. Ayah HunHan, sikap Luhan yang lembut dan sikapku yang dingin.

“ Ayah Hun, lihat Hanna pakai baju warna pink. Hanna cantik kan?” ujar Luhan menyuruh Hanna berputar . aku hanya menggangguk, pandanganku masih tertempel di Koran pagi ini.

“ sehun..”

“ Iya cantik.” Gumamku masih enggan menoleh ke arah mereka.

“ Sehun, kau bahkan tidak melihat Hanna, bagaimana kau tahu kalau dia cantik?” Luhan marah “ Sehun!!”

aku melipat Koran denga emosi, memandang sebal kea rah mereka “ Aku kan sudah bilang cantik!”

“ Kau menyebalkan Sehun.”

Luhan menatapku dingin, lalu mengajak Hanna kembali ke kamar. Ini menyebalkan. Selalu seperti ini. Aku selalu menjadi pihak yang ditinggalakan. Aku sudah terlalu banyak mengalah, aku sudah cukup lama menahan emosi, aku ingin semuanya berhenti.

Bagaimana cara menghilangkan ini semua?
Bagaimana cara megembalikan apa yang dulu aku miliki?

TBC.