“Jinyoung!”
Pemuda dengan rambutnya yang hitam dan diatur agar menjadi spike, hanya tersenyum melihat gadis yang datang ke arahnya. Senyum gadis itu sama lebarnya dengan dirinya, namun tentu saja, senyuman gadis itu lebih manis dari sudut manapun.
Lee Yejin—nama gadis itu. Nama yang cantik, untuk orang yang juga cantik. Tapi Jinyoung tidak pernah berani mengatakan hal itu secara langsung. Malu? Entahlah, dirinya juga tidak tahu. Yang pasti, tanpa ia beritahukan dengan kata-kata, Yejin sudah tahu arti setiap gerak-gerik yang ia buat.
“Sudah menunggu lama?” tanyanya, mengulum senyuman manisnya.
“Nope. Baru juga datang.” Jinyoung bangkit berdiri dari bangku, merapikan lipatan bajunya yang berantakan.
Hari ini dia tampil lumayan rapi dengan jaket hitam yang digulung, kaos kuning tipis, dan celana jeans yang sepadan. Sedangkan Yejin tampil dengan menggunakan blouse berwarna kuning yang dimasukkan ke dalam celana pendek cokelat muda.
Cocok? Tentu saja.
Tapi cocok dan ditakdirkan bersama itu berbeda.
“Keberatan jika aku memberikanmu ice cream, nona?” Jinyoung mengeluarkan sekotak ice cream yang tadi ia beli secara kebetulan. Dan wajah Yejin langsung cerah melihatnya. Dengan semangat, gadis itu mengangguk, innocent.
Jinyoung tersenyum kecil, lalu membuka kotak es krimnya. Ia memberikan sebuah ice cream strawberry pada Yejin. Dan kau tahu, rasa strawberry—adalah rasa yang disukainya dan Yejin.
“Terima kasih~” senandung Yejin riang. Tapi baru saja ia melangkah, kakinya sudah tersandung dan membuat tubuhnya oleng.
“Awas!” Dengan sigap, Jinyoung menangkap tubuh gadis itu. Ia melirik ke arah tumit kaki Ailee, dan menemukan sebuah bekas berwarna ungu menghiasi bagian itu.
“Aish…”
“Hah… Sejak kapan kamu mengenakan sepatu hak tinggi? Memang kamu benar-benar mau disebut lady betulan disini?” gerutu Jinyoung pelan, lalu melepaskan sepatu hak tinggi berwarna cokelat muda milik Yejin.
Tapi gadis itu hanya meronta dan menggeleng.
“Jangaaan! Aku tidak mau berjalan tanpa alas kaki! Bagaimana kalau kakiku kotor?” protesnya. Dia merengut, menggembungkan pipinya.
“Ya, tinggal cuci saja! Manja, ah.”
“Aku nggak manja kok.”
“Humph… Yasudah.” Jinyoung langsung melepaskan sepatu Yejin tanpa permisi, membuat gadis itu semakin jengkel.
Tapi baru saja ia mau kembali protes, Jinyoung sudah membelakanginya dan berjongkok, memberinya tumpangan di punggung. Pemuda itu membawa semuanya—mulai dari kotak es krim, sepatunya, bahkan sampai tas Yejin juga ia genggam di tangannya. Dan pemuda itu hanya melirik pada Yejin, menyuruh gadis itu supaya cepat naik.
“Tunggu apa lagi? Cepat naik atau kau jalan tanpa sepatu, nona ceroboh.”
Bibirnya masih mencibir, tapi hatinya tidak. Entah kenapa dia terkesan dengan perhatian-perhatian kecil dari seorang Jinyoung—yang ternyata tak pernah ia sadari selalu pria itu lakukan. Sayangnya ia tidak menyadari itu dulu.
Dengan hati-hati, ia naik ke punggung pria itu. Dan tanpa ancang-ancang, Jinyoung sudah bangkit dan sukses berdiri tegak. Ia melangkah dengan cepat berhubung langkah kakinya besar. Yejin agak terkejut saat Jinyoung sudah mulai berjalan, karena sebelumnya dia tidak pernah berjalan secepat itu.
Ia meletakkan kepalanya di bahu Jinyoung, merasakan kelembutan yang tersirat dari lelaki itu. Ternyata, bahu Jinyoung lebar dan nyaman. Aroma rambutnya juga lembut dan menenangkan, serta caranya menggendong Yejin, semuanya sangat tenang dan halus. Seakan dia memang mempunyai semuanya untuk mendapatkan hati seorang wanita.
Kenapa dulu dia tidak menyadari hal ini?
Entah kenapa semuanya terasa begitu terlambat. Pedih sekali, mengingat waktu tidak bisa diulang lagi. Andaikan saja waktu bisa diulang, ia pasti mengulangnya. Secepat mungkin yang ia bisa, agar nantinya dia tidak terlambat lagi. Mendapatkan hati Jinyoung, padahal dulu dia sudah mendapatkan kesempatan itu, tapi dia sia-siakan begitu saja.
Gadis bodoh.
Mengorbankan diri untuk kesia-siaan, dan pada akhirnya juga mendapat kesia-siaan. Semuanya jadi sangat hambar. Kekosongan hati… Penyesalan… Semuanya memang menyiksa batin gadis itu. Tapi apa boleh buat.
“Yejin… Aku masih menunggumu, …”
… Iya, gadis itu memang sangat bodoh.
Dia sudah sekurang-ajar ini, dan Jinyoung masih mau membawakan barang-barangnya. Mengingat ice cream kesukaannya dan bahkan membelikannya, menemaninya, dan yang paling membuat dia sedih adalah, dia baru merasakan gendongan hangat pria ini setelah begitu banyak kesempatan yang ia dapatkan.
Sebulir air mata mengalir di pipi merahnya, menemani setiap penyesalan yang ia rasakan.
Sementara Jinyoung hanya terdiam sambil terus melangkah. Kemanapun kaki ini melangkah, ia akan terus mengikuti. Sebisa mungkin, dia ingin menculik gadis ini pergi, pergi sangat jauh, ke tempat mereka berdua bisa tenang. Di tempat mereka berdua hanya sendirian, melepas kekakuan yang terjadi setelah persahabatan mereka terikat selama lebih dari tiga tahun.
… Aku menyesal…
Dua-duanya merintih dalam hati. Belum mampu melepaskan, belum mampu merelakan. Dua-duanya tidak memiliki kepastian yang pasti, tapi masing-masing dari mereka tahu, mereka tidak bisa hidup jika salah satunya menghilang.
******
“Jinyoung… Bagaimana persiapannya besok?”
“…”
Jinyoung menundukkan kepalanya sebentar. Ada jeda panjang pada percakapan mereka kali ini. Ice cream yang daritadi ia nikmati mendadak menjadi tak ada rasanya.
“… Semuanya baik.”
“Ooh…” Yejin memaksakan senyumnya. Manik matanya memperhatikan kakinya yang berayun kesana kemari.
Pantai dengan sunset yang berkilauan—benar-benar background yang indah. Dirinya dan Jinyoung duduk berdampingan di atas batu karang, mencoba menikmati pemandangan di hadapan mereka. Tapi tetap tak bisa. Hati mereka tidak tenang, sama sekali.
“Pemandangannya cantik, ya?” gumam Jinyoung.
Yejin hanya mengangguk kecil, kemudian keheningan kembali menerpa mereka. Dua-duanya tidak ingin berbicara apapun, meski sebenarnya ada ribuan kata yang perlu mereka katakan saat itu juga.
Yejin menengadahkan kepalanya. Sudah saatnya. Dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam, dia tidak bisa menikmati sunset ini berdua lagi. Tak habis-habisnya ia menyesal. Andaikan saja dulu dia tidak cinta mati pada pria brengsek itu dan sadar akan perhatian dan ketulusan Jinyoung, pasti semuanya tidak akan jadi seperti ini.
“… Aku rindu saat dulu, deh…” Jinyoung kembali memulai pembicaraan. Ia menelan ludahnya, mencari kata-kata yang tepat untuk diungkapkan. “… Sebelum… Kita… Menjadi kaku…” desahnya, meringis pelan. Ada sebuah penyesalan dalam dirinya kenapa ia bisa berkata seperti itu—lagi.
Lagi, lagi, dan lagi. Penyesalan itu selalu datang. Dan kedua orang ini begitu bodoh sampai mereka terus mengulangi hal yang sama, bahkan sampai melukai perasaan masing-masing.
“… Jinyoung…” Akhirnya, Yejin membuka mulutnya. Masa bodoh dengan matanya yang sudah tergenang dengan air mata itu. Dia tidak ingin semua ini berakhir, tapi kata ‘terlambat’ itu selalu menghentikan niatnya. Membuatnya selalu menggigit bibirnya dan bertanya ‘Kenapa?’ berulang-berulang.
“… Selamat atas pertunanganmu, ya.” Ujarnya, diselingi isak tangis yang tak pernah ia sangka.
Mungkin, sejak Jinyoung menyatakan perasaan padanya setahun lalu itu, air matanya memang selalu mendesak untuk keluar. Hanya saja gadis itu selalu memaksakan dirinya untuk bertahan, membalikkan realita yang sedang menerjangnya.
“… Yejin…” Jinyoung membulatkan matanya, terkejut melihat orang yang disayanginya sejak dulu—menangis. Dan tanpa sadar air matanya sendiri ikut mengalir. Ada apa ini? Apa emosi dan luapan perasaan itu tak bisa lagi ia—dan Yejin tahan?
“Sudah… Cukup… Aku menyesal… Tentang masa lalu kita, semuanya…” Yejin menggelengkan kepalanya tanpa sebab, menyeka air matanya sementara bibirnya terus bergerak untuk mengungkapkan semua perasaannya. Tapi semuanya tak bisa keluar begitu saja karena isak tangisnya yang membuat nafasnya tercekat.
“Yejin—”
Sebelum Jinyoung bisa menenangkan gadis itu, Yejin sudah berlari meninggalkannya.
Tidak, aku tidak mau lagi. Aku tidak mau melihat dirimu, maupun kenangan kita. Aku menyesal…
Aku menyesal, Jinyoung…
******
00.00AM
Angin mengetuk kaca jendela kamar Yejin, dan sedikit tiupan kecil membuat
gadis itu tetap terjaga. Matanya membengkak. Terlalu banyak air mata yang ia
tahan selama setahun ini.Diliriknya jendela berbingkai broken white itu. Ribuan kenangan melintas begitu saja, mulai dari dirinya dan Jinyoung yang baru berkenalan, saat dirinya jatuh cinta pada kakak kelas brengsek itu, saat hatinya dihancurkan dengan mengenaskan, sampai Jinyoung menyatakan cintanya yang tulus. Dan pada saat itu, ia menolaknya. Sungguh tak tahu diri.
… Yejin…”
Yejin menggelengkan kepalanya. Halusinasi. Dia pasti berhalusinasi. saking banyaknya Jinyoung di kepalanya, dia sampai membayangkan bahwa pemuda itu memanggilnya.
“Yejin!”
Baiklah. Khayalan ini mulai gila.
Gadis itu berlari ke sisi jendela, memperhatikan ke arah bawah. Jinyoung sudah menatapnya dengan tatapan cemas. Pemuda itu masih memakai pakaian yang sama dengan tadi. Setelah melihat Yejin muncul dari balik jendela, pemuda itu tersenyum.
“… Kamu mau apa?” tanya Yejin, perlahan.
“Pernahkah kamu mendengar tentang kesempatan kedua? Dan kesempatan-kesempatan selanjutnya?”
Yejin tertegun. Diperhatikannya wajah Jinyoung yang masih berseri-seri.
“… Maukah kamu membuat kesempatan itu, denganku?”
Yejin sontak terkejut mendengarnya. Tidak tahu harus berkata apa.
“Aku memang tidak bisa membatalkannya. Tapi dengan cinta, kita berdua bisa pergi kemanapun kita bisa. Selama aku diberikan kesempatan lagi darimu, akan kubuktikan kalau cintaku memang tulus.” Ujar pemuda itu, mengangguk pasti.
Yejin tersenyum mendengarnya. Bulir-bulir air matanya kembali turun, tapi kali ini, bulir-bulir kristal itu menemani sebuah senyuman. Tanpa dibuktikan pun, dia sudah yakin akan perasaan Jinyoung. Perasaan pemuda itu, dan dirinya, seperti sudah terikat sesuatu.
Kakinya melompat turun, tidak peduli bahwa tubuhnya sudah melayang. Yang pasti, kali ini Jinyoung akan menangkapnya, merengkuhnya dalam pelukannya yang hangat, dan membawanya ke tempat mereka berdua dapat mengungkapkan semuanya dengan jujur. Menjadikan dirinya, sebagai milik pemuda itu.
Terima kasih sudah memberikan aku kesempatan.
No comments:
Post a Comment