Friday 5 December 2014

BLUE ROSE






Kenangan seperti Lumpur yang mengendap di dasar sungai…
Bergerak, lalu menanti hujan turun agar bisa menyatu dengan air dan kembali menjadi Lumpur..

Black House
Di Rumah itulah aku bertemu dengannya pertama kali.
Saat dia memberiku setangkai mawar berwarna biru untukku.


Hitam.. pekat.. itulah yang kuingat tentang wujud dari rumah itu.
Sosok rumah ‘aneh’ yang telah lama berada di perbukitan yang berada persis di belakang rumah kakekku. Aku hamper sering berkunjung, ah, bukan. Tapi aku memang lebih sering menginap di rumah kakek daripada dirumah. Sejak aku belita setiap harinya kau dititipkan di rumah kakek karena kesibukan orang tuaku. Tch, sebenarnya bukan hanya itu alasannya. Mereka-kedua orang tuaku- selalu menitipkanku kerumah ini karena alasan yang lain. Karena aku, Luhan, sudah sejak kecil diklaim dengan julukan ‘bocah aneh’ oleh orang orang. Dan mirisnya orangtuaku juga.

Semua ini karena sejak balika aku tak bisa berbicara sama sekali. Mereka pikir aku bisu. Karena itu mereka menitipkanku pada kakekku yang seorang psikolog dengan dalih agar kakek dapat menyadarkanku. Dan makna ‘menyadarkan’ itu sebenarnya lebih menjurus kearah penyembuhan. Aku masih tidak mengerti kenapa aku harus disembuhkan. Aku merasa sehat, aku merasa baik baik saja,jelas aku tidak sakit. Hanya karena tidak bisa bicara hingga aku berusia 4 tahun lalu ereka menganggapku bisu, kejam sekali. Tapi aku tak peduli. Aku hanya seorang anak yang harus patuh pada kehendak mereka, bukan begitu?

Yang aku ingat dulu, kakek hanya memeberikanku buku polos dan pensil warna setiap harinya. Aku dengan senang hati menerimanya.bahkan aku sangat senang. Setiap harinya aku mencari objek objek yang menarik, lalu kutuangkan ke dalam kertas gambarku. Terkadang kakek mengajakku berkeliling rumah tetangga. Tapi aku tak suka. Tatapan yang ditujukan padaku itu membeuatku merasa muak. Entahlah.. aku hanya merasa seperti itu.

Aku lebih suka mencari objek unik di perbukitan di belakang rumah kakek. Menggambar apapun yang kusukai. Rumput, bunga, serangga, dan apapun itu.semakin tinggi tubuhku kakek semakin membebaskanku untuk mencari objek objek yang kusukai dan menggambarnya ke dalam buku yang selalu kubawa. Jika dihitung, selama bertahun tahun, sudah tak terhitung berapa objek yang sudah kugambar dalam kertas gambarku.

Semakin aku besar aku sudah tak menggunakan pensil bewarna lagi, melainkan pensil biasa dengan warna abu abu yang membosankan. Tapi aku tak peduli, lagipula aku sudah tak tertarik pada warna warni lagi seperti saat aku masih balita dulu. Aku lebih menikmati objek gambarku daripada warnanya.

Aku ingat saat aku berusia 12 tahun saat pertama kali bertemu dengannya untuk pertama kalinya.

Aku sedang asik menggambar seekor bunglon yang menempel arogan pada sebatang pohon berlumut di perbukitan, lalu tiba tiba saja hujan turun dengan derasnya seperti air dituangkan dari ember raksasa dari atas sana.

Hujannya deras, berisik, dan melumatkan kerak kerak lumpur hingga lumpur yang terlihat retak retak itu kembali menyatu dengan air dan menjadi lumpur dalam wujud sesungguhnya seperti bagaimana orang orang mengenalnya.

Kulindungi tubuhku dengan buku gambarku, namun sama sekali tak membantu. Dalam bayangan berkabut keran hujan samar samar aku lihat bayangan hitam beberapa meter dihadapanku. Aku memicingkan mataku untuk memperjelas objek apa yang tertangkap samar oleh penglihatanku itu. Semakin lama aku meyakini jika itu adalah rumah.

Aku berlari lari kearah rumah itu, membuka pagarnya terburu buru lalu bertedu di serambinya. Kutoleh kepalaku kesan kemari untuk mengamati rumah yang seluruh catnya bewarna hitam pekat. Aku sedikit heran. Sudah beberapa tahun aku mengelilingi bukit ini dan aku tak pernah melihat rumah ini. Didorong rasa penasaran aku melangkahkan kakiku menuju jendela kaca dan mengintip ke dalam. Tak ada yag menarik, hanya perabot tua yang terkesan antic yang tersebar di sudut sudut dalam rumah.

Aku membuang nafasku, aku mengusap usap lenganku karena aku sedikit kedinginan dan menggigil.

Krieeettttttt…

Aku tersentak dari lamunan dan terkejut setengah mati saat kudengar pintu rumah yang trbuka. Kutolehkan kepalaku kea rah pintu dan sontak kurasakan jantungku berhenti berdetak. Sesuatu yang tertangkap oleh mataku adalah sesuatu yang belum pernah aku lihat sebelumnya.

Objek yang sangat sempurna.

Seorang pria yang sangat pucat. Mungkin beberapa tahun lebih tua dariku, berdiri dambang pintu, menatap lembut kearahku. Dalam dekapannya terkumpul beberapa tangkai bunga mawar berwarna.. biru?

Aku menatap kikuk ke arahnya, tapi dia malah melemparkan senyuman padaku.

“ Hai” sapanya.

Aku meneguk ludahku, lalu memaksakan tersenyum dan mengangguukan kepala untuk menjawab. Aku bisu, ingat?

Dia mendekat lalu menatapku lekat.

“ Kau kedinginan? Tanyanya lagi.

Aku mengagguk ragu.

“ Masuklah, aku akan memberikanmu minuman hangat.” Tawanya.

Aku hanya mematung di tempatku. Dia seperti menangkap keragu raguan dalam sikapku, karena itu dia tersenyum, meletakkan mawar biru itu di kursi teras, lalu menarik pergelanagan tanganku. Tangannya terasa amat lembut tapi sangat dingin.

Dia mendudukkanku di kursi kayu berukiran unik di ruang tengah, lalu mengambil selimut dan menutupi tubuhku dengan selimut itu. Selanjutnya dia menyodorkan secangkir cokelat hangat padaku.

“ Siapa namanu?” tanyanya setelah duduk dihadapanku.

Aku diam, bingung harus menjawab apa. Aku tak bisa bicara kan?

“ Bicaralah.. kau bisa.” Katanya

Entah mengapa, tiba tiba aku merasa aku mampu melakukannya. Dengan keyakinan yang amat besar aku menggerakkan mulut dan lidahku.

“ A-aku.. Luhan” jawabku

Huh? Aku bicara? Sungguh? Jangan bangunkan aku jika ini hanya mimpi!

Dia tersenyum.

“ Luhan.. namanu cantk.” Pujinya.

Aku tak tahu apa tapi darahku mendesir.

“ Namaku Kris ”

aku hanya diam. Saat ini dia terlihat sibuk memotong tangkai mawar biru yang dia petik tadi.

“ Itu.. mawar?” tanyaku ragu, tak yakin sebenarnya itu jenis bunga mawar. Mana ada mawar warna biru.

Dia tersenyum . “ Ya.”

Aku tertegun. Benarkah?

“ Tapi warnanya..”

“ Biru” katanya menyambung ucapanku.

“ Ya.. biru. Anehh..” sahutku.

“ Aneh?”

aku mengangguk.

“ Baru kali ini aku melihatnya.” Kataku terus terang.

Dia tersenyum lagi.

“ Aku memiliki banyak di halaman rumah.” Katanya.

Aku menatap mawar mawar itu. Sangat cantk.

“ Boleh aku minta satu?”

Kris mentapku lama, lalu tersenyum.

“ Kau menyukai mawar ini?” tanyanya.

“ Ya, warnanaya cantik.” Kataku terus terang.

Dia mengangguk.

“ Kau boleh membawa berapapun yang kau mau. Kembalilah kesini jika kau meginginkannya lagi.”

Dia menyodorkan satu tangkai padaku lalu tersenyum ramah. Dengan semangat aku menyambut mawar itu. Ku belai kelopak birunya yang lembut. Kuhirup aroma segarnya. Tangisan hujan diluar mendayu dayu di telingaku. Berisik, tapi entah kenapa aku merasa lelah dan mengantuk. Akhirnya tanpa kutahu yang selanjutnya terjadi, aku sudah kehilangan kesadaran. Sepertinya aku tertidur.



Aku terkesiap. Tubuhku terasa lemas. Kubukan mataku dan kutatap sekeliling. Aku masih di rumah bercat suram itu.

“ Sudah bangun?”

aku cepat menoleh kearah suara itu.

“ Kris? Sudah berapa lama aku tertidur?” tanyaku

“ Tak lama.. hanya setengah jam” jawabnya sambil tersenyum.

“ Hujannya sudah berhenti.” Gumamku saat tak kudengar lari suara gemuruh hujan di luar sana.

“ Kau sudah mau pergi?”

Aku mengangguk.

“ Aku takut kakek marah padaku.” Kataku jujur.

Kris terkekeh, lalu tersenyum.

“ Dia tak akan tahu.” Katanya.

Entah apa maksudnya, aku tak mengerti.

“ Aku pergi, terima kasih.” Kataku menyambar mawar pemberiannya tapi… “ AKH..” aku meringis, tanganku tertusuk duri.

Kris menghampiriku dengan cepat, lalu meraih jariku dan menghisap darah yang keluar dari sana dengan cepat. Aku termangu melihat pipi pucatnya perlahan bersemu merah.

“ Darahnya sudah berhenti.” Katanya memecah kesunyian.

Aku menarik tanganku dengan cepat. Aneh. Rasanya hatiku berdesir aneh.. apa ini?

“ Ayo kuantar sampai melewati pagar.” Katanya.

Aku menangguk tapi lagi lagi aku tersentak saat dia menggenggam erat tanganku, menuntunku melangkah bersamanya. Meski hanya diam, aku yakin memahami jika aku sedang berdebar saat ini. Seperti yang kukatakan tadi. Ini aneh.

“ Hati hati ya Luhan” katanya.

Aku mengangguk dan tersenyum padanya. Aku berbalik dan berlari lari lari kecil . sekejap aku sempat menoleh padanya, namun entah apa yang terjadi dia lenyap. Rumah aneh itu juga lenyap padahal aku baru beberapa langkah saja aku berlari.

Aku terpaku dan memaku bingung pada tempatku berdiri. Namun lagi lagi aku tertusuk duri.

Tertusuk?

Aku tersenyum melihat mawar biru itu masih ada. Itu artinya aku tidak bermimpi. Kris ada. Dia nyata. Mungkin- .

Aku kembali berlari ke rumah kakeh dengan rambut yang lembab karena air hujan.




Luhan.. kau darimana saja? Sambut kakeh khawatir.

Aku tersenyum lebar, hendak memamerkan padanya jika aku sudah bisa bicara tapi…

Suaraku tak keluar.

Aku mencoba sekuat tenaga, tetap ga bisa.

Kenapa?

Tadi aku bisa mengobrol dengan Sehun tapi sekarang?

“ Luhan?” tegur kakek.

Aku mendongak lemah dan menatap kakek dengan keputus asaanku. Kakek menarikku dan memelukku.

“ ayah dan ibumu datang menjemputmu nak. Pergilah… sudah saatnya kau hidup bersama mereka.”

Aku terkesiap.

Tidak! Aku tak mau!

Aku menggeleng keras keras berusaha emnunjukkan pada kakek jika aku tak mau pergi. banyak yang ingin aku ceritakan pada kakek soal kejadian tadi. Aku ingin mengatakan jika aku sudah memiliki teman, namanya Kris, dia memberiku mawar biru ini. Tapi..

Mawar biru?

Aku menatap tanganku kosong. tak ada mawar biru dalam genggamanku.

Kemana mawar biru itu? Bukankah tadi aku sedang memegangnya? Aku meletakkannya dimana?

Aku masih bingung, tapi sekejap kemudian yang aku tahu ayah dan ibuku muncul, lalu menyeret tubuhku masuk ke dalam mobil mewahnya. Membuat pandangan ataku hanya tertuju pada sosok kakek yang melambai ke arahku dengan senyum keriputnya.




Bagiku ingatanitu seperti kotak kotak kardus yang berserakan…
Seperti laci laci penyimpanan kenangan…
Meskipun telah beribu malam yang pekat terlampaui oleh guratan waktu..
Kenangan tentangmu tetap membekas dalam ingatanku
Black House… Blue Rose.. and Memory

Jariku terus bergerak, menggesek kuas cat hitam ked lam kanvas putih dihadapanku. Menorehkan sebuah garis panjang lurus pada permukaan lembar kanvas putih. Sudah 8 tahun berlalu, dan inilah jadinya aku.

Luhan, pemuda bisu. Pelukis muda yang terkenal karena lukisan anehnya yang berjudul Black House, Blue Rose, and Memory. Orang tuaku yang awalnya mengecam kebiasaan anehku menggambar objek aneh yang terlihat seperti rumah bercat kelam sejak 8 tahun lalu, kini tak lagi mempermasalahkannya. Tch tentu saja mereka tak akan protes lagi, bukannya mereka beruntung karena mereka dapat mengumpulkan uang uang dari hasil lukisanku yang dulu mereka anggap menyeramkan itu.

Padahal setiap tahun yang terlewati – dulu- selalu mereka gunakan untuk mendencih ketika jari jariku mulai menggambarkan lagi pola pola aneh berwujud rumah berwarna hitam pekatdi perbukitan berkabut itu, karena mereka menganggap itu ‘horror ‘. Tapi sudahlah, toh kini mereka tidak rebut lagi, jadi aku tak perlu kesal lagi dengan keadaan ini. Tak ada gunanya mendendam. Toh hidup itu seperti komposisi seperti lukisan lukisan yang kubuat ini. Kadang aku tak tahu kenapa bagian kanvas kuisi dengan tinta hitam, sedang bagian lain kubiarkan kosong. Aku hanya akan menjalani hidupku seperti kuas yang kupegang, yang tak peduli kemana dirinya akan dicelupkan, ke tinta cerah, atau tinta yang gelap. Yang dia tahu hanya dia harus dicelupkan dan dioleskan. Dia hanya tahu kalau tugasnya hayalah membawa warna yang menurut kehendak penulisnya. Begitupun aku. Aku hanya akan menjalani hidupnya sesuai dengan guratan taktir yang dituliskan oleh Tuhan untukku. Sudah, begitu saja. Tamat. End.


Huffttt…

Aku mengambil kuas baru dan kucelupkan ke tinta berwarna biru gelap. Aku mulai lagi.. Hhhh.. akupun tak tahu kenapa tanganku tak bias berhenti melukiskan objek yang satu ini. Rumah bercat hitam, dengan rimbunan mawar berwarna biru di pekarangannya. Aku suka.. aku kecanduan, karena ketika melukiskan objek ini, aku akan selalu teringat tentang dia.. tapi bukan berarti aku tak mengalami ‘ fase penting’ itu.

Aku tak tahu sejak kapan perasaan aneh ini muncul. Hanya saja aku mulai memikirkan hal hal aneh tentang ‘dia’ dalam kurun waktu beberapa tahun ini, tepatnya ketika aku mengalami masa puberku untuk yang pertama kali. Aku memang bisu, memang anti social, memang aneh, bahkan sikap semua rang padaku juga selalu mengingatkan padaku jika aku itu ‘menyeramkan’.

Kembali pada topic. Aku mulai memikirkan ‘pria pucat’ itu sejak aku menginjak usia 16. Ketika aku bermimpi tentangnya. Bibirku mengulas senyum ketika aku mengingat mimpi itu. Saat itu aku tak tahu itu apa. Tapi aku sering mendengar istilah mimpi basah yang sering terjadi pada remaja seperti yang terjadi padaku saat itu. Anehnya kenapa harus Kris yang hadir dalam mimpiku. aku bahakn baru sekali bertemu dengannya. Aneh tapi aku suka. Akankah aku bisa kembali bertemu dengannya?




Aku baru saja menghempaskan bokongku ke kursi dan duduk menghadap kanvasku seperti biasanya. Tiba tiba saja ibuku masuk dengan langkah gemetaran dan menangis. Aku mengerutkan dahi, menunjukkan ekspresi heran sebagai ganti untuk pertanyaan ‘ Mama, apa yang terjadi?’ dan dalam sekejap saja ibuku sudah memelukku erat. Ada apa?

“ Luhan.. kakekmu meninggal.. digigit hewan buas”

Jantungku seperti berhenti berdetak. Kakekku? Orang yang kusayangi? Yang selalu kurindukan selama ini? Sudah meninggal?

Air mataku jatuh. Aku enar benar menangis kali ini.

“ Kita akan berangkat ke desa. Kakekmu meninggalkan surat wasiat pembagian warisan, dan kita harus kesana Luhan. Aku yakin kakekmu pasti meninggalkan sesuatu untukmu”.

Aku mengutuk dalam hati. Mengapa dalam keadaan seperti inipun ibuku masih sempat memikirkan soal warisan? Dasar mata duitan!!!!

Senja mulai membentangkan cahaya pucat matahari. Aku memutuskan keluar dari lingkaran orang orang tua yang salingmembicarakan pembagian warisandi dalam rumah almarhum kakek. Aku tak tertarik dengan pembagian warisan. Aku lebih penasaran untuk menaiki bukit dan mencari keberadaan Black House yang selalu terpahat apik dalam ingatanku.

Kakiku menapak menyusuri jalanan yang menanjak naik. Aku baru sadar jika langahku ini terasa sagat ringan. Sama sekali tak terasa berat seperti saat aku masih umur 12 tahun dulu. Nafasku tak sampai terenggah ketika aku sampai di sebuah pohon berlumut yang posisinya sudah tak lurus lari, sudah agak membngkuk kini. Aku masih ingat jika saat itu aku tengah menggambar bunglon yang menempel pada batang pohon ini . sebelum hujan turun.

Aku mendekat kearah pohon itu, lalu kupejamkan mataku, kucoba mengingat ingat bagaimana posisiku ketika dulu aku melihat rumah itu.

Setetes air mendarat dipipiku. Kubuka mataku dan menatap langit. Mendung dan… hujan. Aku melindungi kepalaku dengan kedua tangan, namun tak membantu. Dan ketika itulah aku melihatnya. Rumah hitam itu ada disebelah sana rumahnya. Padahal sepertinya aku tadi tak melihat apapun, tapi kini rumah itu hanya berada beberapa meter dari tempatku berdiri.

Dejavu


Aku berlari lari kea rah rumah itu. Kubuka pagarnya terburu buru sampai menyebabkan bunyi berdendang yang sangat keras. Keadaan rumah itu tak berubah sama sekali . persis sama seperti pada saat aku masih berumur 12 tahun. Rimbunan bunga mawar berwarna biru. Aku merasa nyaman berada di sini.

“ Luhan?”

Aku hampir terlonjak ketika aku mendengar suara itu. Kuputar batang leherku dengan perlahan. Aku gugup. Dan dia ada disana... sedang menataplu dengan pancaran mata yang menyiratkan.. err.. kerinduan?

“ Kris ”

Ah, aku bisa bicara lagi! Keanehan yang terjadi hanya saat aku berada dekat dengannya.

Dia tersenyum dan memelukku sangat erat, menyerukkan bibirnya pada lekuk leherku dan menghirup aroma tubuhku dalam dalam. Kucengkeram erat punggungnya dan aku juga menghirup aroma tubuhnya.

“ Kris, bagaimana bisa kau tahu kalau ini aku?” tanyaku dengan mata terpejam, masih menghirup aroma tubuhnya yang seperti mawar.

Kris mengelus punggungku dan mengecup pipiku sekilas.

“ Kau cantik.. bentuk matamu indah.. hanya kau yang meniliki wajah seperti itu. Dan darahmu... memanggilku.”

Aku terdiam, kutarik diriku dan kutatap matanya. Wajahnya masih sama. Tak ada yang berubah sedikitpun, padahal aku bertemu dengannya terakhir kali saat aku masih anak anak. Dan kemesraan ini terjadi.
Dia tersenyum padaku dan menempelkan dahinya pada dahiku.

“ Aku merindukanmu” katanya

“ Aku juga merindukanmu.. aku memimpikanmu setiap malam.” jawabku.

“ Aku tahu.”

dia tahu?

Kami hanya terdiam, saling menatap dengan pandangan redup. Dia mendekat dan semua terjadi begitu saja. Bibirnya menyentuh bibirku dan aku memeluk tengkuknya yang kini menjadi sangat mudah kugapai. Dulu tinggiku hanya sebatas perutnya, tapi kini kami sudah hampir sama. Ciuman ini berakhir dan Sehun kembalitersenyum padaku.

“ Kau kedinginan?”

aku mengangguk.

“ Masuklah..”

aku mengangguk kecil mengikuti langkahnya memasuki rumah.

“ Luhan..”

Sebuah suar serak memanggil namaku, menghentikan langkahku. Aku menoleh dengan cepat dan..

“ Kakek!!” pekikku

Kakekku? Benarkah?

Aku sudah hampir berlari untuk memeluk kakek tapi..

SRETT

Tanganku ditahan oleh Kris .

“ Jangan.. kau tak bisa kesana Luhan. Kakekku sekarang berbeda denganmu.

Aku mengerutkan dahi.

“ aku tak melihat perbedaannya Kris. Aku merindukan kakekku. Aku rindu padanya.”

“ Jangan.. kau tak boleh.. dia bisa membunuhmu.”

Huh, membunuhku?

Kulihat kakekku mentap tajam padaku di seberang pagar sana, tapi tak berani masuk ke dalam. Entah mengapa. Matanya nyalang menatapku.

“ Kalian berbeda Luhan. Kau siang dan dia malam.”

Keningku mengkerut, aku tak mengerti.

“ Tapi aku merindukan kakekku Kris.”

“ Kalau begitu kau harus memilih, sekali kau memilih malam kau tak akan bisa kembali ke siang.”

“ Memilih?”

“ Huum, siang atau malam.?”

Aku terdiam. Kuarahkan pandanganku ke arah kakekku. Hujan telah berhenti. Semburat senja di cakrawala menerpa tubuh kakek. Kurasakan jemari sehun mengelus leherku. Kurasakan bibir tipisnya mengecup leherku. Aku merinding, jangtungku berdetak keras, panas, gerah, darahku bergejolak.

“ Siang atau malam Luhan?”

aku memejamkan mataku dan menjawab.

“ Malam.”

Kris mendesisi pelan, lalu kembali mencapai leherku, menjilat beberapa kali dan...

Darahku mengalir derat menuju ke satu titik yang sedang dikecupnya, tapi aku merasa ringan. Aku memejamkan mata. Di balik mata yang terpejam aku melihat kenangan kenangan ketika aku kecil berhamburan meninggalkan diriku, mendesis, menguap, dan menghilang. Dan aku kosong.

Dalam hitungan beebrapa detik malam menjadi terang dalam pandanganku. Bisa aku lihat dengan jelas tetesan air dari pucuk dedaunan yang berada jauh disana. Aku juga bisa melihat semut yang merayap cepat di sebatang pohon yang berjarak 3 meter dariku.

Aku menoleh ke arah pagar, yang sepertinya beberapa saat yang lalu ingin kudatangi. Namun keinginan itu tak ada lagi. Semuanya lenyap.

Otakku kosong, tak ada kenangan apapun lagi di dalamnya. Aku seperti kardus kosong yang berserakan. Seperti laci kosong yang tak memiliki isi. Segala ingatan dan kenangan telah lenyap tak tersisa.

Kris memelukku erat dan sebuah kecupan mendarat dipipiku. Aku menoleh dan melihat wajah tampannya wajah tampannya. Tidak aku masih memiliki kenangan, buktinya aku masih ingat siapa pria tampan yang berdisi disampingku. Krisku..

“ selamat datang di kegelapan sayang.” sambutnya padaku.

Aku tersenyum dan kukecup bibirnya.

Tubuh kami lenyap dibalik pintu, dan sejak senja itu dan seterusnya aku berdiam di dalam Black House dengan waktu yang tak menepi.

Hidup itu seperti komposisi.

Hanya diam dan biarkan tubuhmu terseret arus takdir yang membawamu, meskipun takdir
menuntunmu untuk mengakhiri hidupmu sebagai manusia.

No comments:

Post a Comment