Kenangan seperti Lumpur yang mengendap
di dasar sungai…
Bergerak, lalu menanti hujan turun agar
bisa menyatu dengan air dan kembali menjadi Lumpur..
Black House
Di Rumah itulah aku bertemu dengannya
pertama kali.
Saat dia memberiku setangkai mawar
berwarna biru untukku.
Hitam.. pekat.. itulah yang kuingat
tentang wujud dari rumah itu.
Sosok rumah ‘aneh’ yang telah lama
berada di perbukitan yang berada persis di belakang rumah kakekku.
Aku hamper sering berkunjung, ah, bukan. Tapi aku memang lebih sering
menginap di rumah kakek daripada dirumah. Sejak aku belita setiap
harinya kau dititipkan di rumah kakek karena kesibukan orang tuaku.
Tch, sebenarnya bukan hanya itu alasannya. Mereka-kedua orang tuaku-
selalu menitipkanku kerumah ini karena alasan yang lain. Karena aku,
Luhan, sudah sejak kecil diklaim dengan julukan ‘bocah aneh’ oleh
orang orang. Dan mirisnya orangtuaku juga.
Semua ini karena sejak balika aku tak
bisa berbicara sama sekali. Mereka pikir aku bisu. Karena itu mereka
menitipkanku pada kakekku yang seorang psikolog dengan dalih agar
kakek dapat menyadarkanku. Dan makna ‘menyadarkan’ itu sebenarnya
lebih menjurus kearah penyembuhan. Aku masih tidak mengerti kenapa
aku harus disembuhkan. Aku merasa sehat, aku merasa baik baik
saja,jelas aku tidak sakit. Hanya karena tidak bisa bicara hingga aku
berusia 4 tahun lalu ereka menganggapku bisu, kejam sekali. Tapi aku
tak peduli. Aku hanya seorang anak yang harus patuh pada kehendak
mereka, bukan begitu?
Yang aku ingat dulu, kakek hanya memeberikanku buku polos dan pensil warna setiap harinya. Aku dengan
senang hati menerimanya.bahkan aku sangat senang. Setiap harinya aku
mencari objek objek yang menarik, lalu kutuangkan ke dalam kertas gambarku. Terkadang kakek mengajakku berkeliling rumah tetangga. Tapi
aku tak suka. Tatapan yang ditujukan padaku itu membeuatku merasa
muak. Entahlah.. aku hanya merasa seperti itu.
Aku lebih suka mencari objek unik di
perbukitan di belakang rumah kakek. Menggambar apapun yang kusukai.
Rumput, bunga, serangga, dan apapun itu.semakin tinggi tubuhku kakek
semakin membebaskanku untuk mencari objek objek yang kusukai dan
menggambarnya ke dalam buku yang selalu kubawa. Jika dihitung, selama
bertahun tahun, sudah tak terhitung berapa objek yang sudah kugambar
dalam kertas gambarku.
Semakin aku besar aku sudah tak
menggunakan pensil bewarna lagi, melainkan pensil biasa dengan warna
abu abu yang membosankan. Tapi aku tak peduli, lagipula aku sudah tak
tertarik pada warna warni lagi seperti saat aku masih balita dulu.
Aku lebih menikmati objek gambarku daripada warnanya.
Aku ingat saat aku berusia 12 tahun
saat pertama kali bertemu dengannya untuk pertama kalinya.
Aku sedang asik menggambar seekor
bunglon yang menempel arogan pada sebatang pohon berlumut di
perbukitan, lalu tiba tiba saja hujan turun dengan derasnya seperti
air dituangkan dari ember raksasa dari atas sana.
Hujannya deras, berisik, dan melumatkan
kerak kerak lumpur hingga lumpur yang terlihat retak retak itu
kembali menyatu dengan air dan menjadi lumpur dalam wujud
sesungguhnya seperti bagaimana orang orang mengenalnya.
Kulindungi tubuhku dengan buku
gambarku, namun sama sekali tak membantu. Dalam bayangan berkabut
keran hujan samar samar aku lihat bayangan hitam beberapa meter
dihadapanku. Aku memicingkan mataku untuk memperjelas objek apa yang
tertangkap samar oleh penglihatanku itu. Semakin lama aku meyakini
jika itu adalah rumah.
Aku berlari lari kearah rumah itu,
membuka pagarnya terburu buru lalu bertedu di serambinya. Kutoleh
kepalaku kesan kemari untuk mengamati rumah yang seluruh catnya
bewarna hitam pekat. Aku sedikit heran. Sudah beberapa tahun aku
mengelilingi bukit ini dan aku tak pernah melihat rumah ini. Didorong
rasa penasaran aku melangkahkan kakiku menuju jendela kaca dan
mengintip ke dalam. Tak ada yag menarik, hanya perabot tua yang
terkesan antic yang tersebar di sudut sudut dalam rumah.
Aku membuang nafasku, aku mengusap usap
lenganku karena aku sedikit kedinginan dan menggigil.
Krieeettttttt…
Aku tersentak dari lamunan dan
terkejut setengah mati saat kudengar pintu rumah yang trbuka.
Kutolehkan kepalaku kea rah pintu dan sontak kurasakan jantungku
berhenti berdetak. Sesuatu yang tertangkap oleh mataku adalah sesuatu
yang belum pernah aku lihat sebelumnya.
Objek yang sangat sempurna.
Seorang pria yang sangat pucat. Mungkin
beberapa tahun lebih tua dariku, berdiri dambang pintu, menatap
lembut kearahku. Dalam dekapannya terkumpul beberapa tangkai bunga
mawar berwarna.. biru?
Aku menatap kikuk ke arahnya, tapi dia
malah melemparkan senyuman padaku.
“ Hai” sapanya.
Aku meneguk ludahku, lalu memaksakan
tersenyum dan mengangguukan kepala untuk menjawab. Aku bisu, ingat?
Dia mendekat lalu menatapku lekat.
“ Kau kedinginan? Tanyanya lagi.
Aku mengagguk ragu.
“ Masuklah, aku akan memberikanmu
minuman hangat.” Tawanya.
Aku hanya mematung di tempatku. Dia
seperti menangkap keragu raguan dalam sikapku, karena itu dia
tersenyum, meletakkan mawar biru itu di kursi teras, lalu menarik
pergelanagan tanganku. Tangannya terasa amat lembut tapi sangat
dingin.
Dia mendudukkanku di kursi kayu
berukiran unik di ruang tengah, lalu mengambil selimut dan menutupi
tubuhku dengan selimut itu. Selanjutnya dia menyodorkan secangkir
cokelat hangat padaku.
“ Siapa namanu?” tanyanya setelah
duduk dihadapanku.
Aku diam, bingung harus menjawab apa.
Aku tak bisa bicara kan?
“ Bicaralah.. kau bisa.” Katanya
Entah mengapa, tiba tiba aku merasa aku
mampu melakukannya. Dengan keyakinan yang amat besar aku menggerakkan
mulut dan lidahku.
“ A-aku.. Luhan” jawabku
Huh? Aku bicara? Sungguh? Jangan
bangunkan aku jika ini hanya mimpi!
Dia tersenyum.
“ Luhan.. namanu cantk.” Pujinya.
Aku tak tahu apa tapi darahku mendesir.
“ Namaku Kris ”
aku hanya diam. Saat ini dia terlihat
sibuk memotong tangkai mawar biru yang dia petik tadi.
“ Itu.. mawar?” tanyaku ragu, tak
yakin sebenarnya itu jenis bunga mawar. Mana ada mawar warna biru.
Dia tersenyum . “ Ya.”
Aku tertegun. Benarkah?
“ Tapi warnanya..”
“ Biru” katanya menyambung
ucapanku.
“ Ya.. biru. Anehh..” sahutku.
“ Aneh?”
aku mengangguk.
“ Baru kali ini aku melihatnya.”
Kataku terus terang.
Dia tersenyum lagi.
“ Aku memiliki banyak di halaman
rumah.” Katanya.
Aku menatap mawar mawar itu. Sangat
cantk.
“ Boleh aku minta satu?”
Kris mentapku lama, lalu tersenyum.
“ Kau menyukai mawar ini?”
tanyanya.
“ Ya, warnanaya cantik.” Kataku
terus terang.
Dia mengangguk.
“ Kau boleh membawa berapapun yang
kau mau. Kembalilah kesini jika kau meginginkannya lagi.”
Dia menyodorkan satu tangkai padaku
lalu tersenyum ramah. Dengan semangat aku menyambut mawar itu. Ku
belai kelopak birunya yang lembut. Kuhirup aroma segarnya. Tangisan
hujan diluar mendayu dayu di telingaku. Berisik, tapi entah kenapa
aku merasa lelah dan mengantuk. Akhirnya tanpa kutahu yang
selanjutnya terjadi, aku sudah kehilangan kesadaran. Sepertinya aku
tertidur.
Aku terkesiap. Tubuhku terasa lemas.
Kubukan mataku dan kutatap sekeliling. Aku masih di rumah bercat
suram itu.
“ Sudah bangun?”
aku cepat menoleh kearah suara itu.
“ Kris? Sudah berapa lama aku
tertidur?” tanyaku
“ Tak lama.. hanya setengah jam”
jawabnya sambil tersenyum.
“ Hujannya sudah berhenti.” Gumamku
saat tak kudengar lari suara gemuruh hujan di luar sana.
“ Kau sudah mau pergi?”
Aku mengangguk.
“ Aku takut kakek marah padaku.”
Kataku jujur.
Kris terkekeh, lalu tersenyum.
“ Dia tak akan tahu.” Katanya.
Entah apa maksudnya, aku tak mengerti.
“ Aku pergi, terima kasih.” Kataku
menyambar mawar pemberiannya tapi… “ AKH..” aku meringis,
tanganku tertusuk duri.
Kris menghampiriku dengan cepat, lalu
meraih jariku dan menghisap darah yang keluar dari sana dengan cepat.
Aku termangu melihat pipi pucatnya perlahan bersemu merah.
“ Darahnya sudah berhenti.” Katanya
memecah kesunyian.
Aku menarik tanganku dengan cepat.
Aneh. Rasanya hatiku berdesir aneh.. apa ini?
“ Ayo kuantar sampai melewati pagar.”
Katanya.
Aku menangguk tapi lagi lagi aku
tersentak saat dia menggenggam erat tanganku, menuntunku melangkah
bersamanya. Meski hanya diam, aku yakin memahami jika aku sedang
berdebar saat ini. Seperti yang kukatakan tadi. Ini aneh.
“ Hati hati ya Luhan” katanya.
Aku mengangguk dan tersenyum padanya.
Aku berbalik dan berlari lari lari kecil . sekejap aku sempat menoleh
padanya, namun entah apa yang terjadi dia lenyap. Rumah aneh itu juga
lenyap padahal aku baru beberapa langkah saja aku berlari.
Aku terpaku dan memaku bingung pada
tempatku berdiri. Namun lagi lagi aku tertusuk duri.
Tertusuk?
Aku tersenyum melihat mawar biru itu
masih ada. Itu artinya aku tidak bermimpi. Kris ada. Dia nyata.
Mungkin- .
Aku kembali berlari ke rumah kakeh
dengan rambut yang lembab karena air hujan.
Luhan.. kau darimana saja? Sambut kakeh
khawatir.
Aku tersenyum lebar, hendak memamerkan
padanya jika aku sudah bisa bicara tapi…
Suaraku tak keluar.
Aku mencoba sekuat tenaga, tetap ga
bisa.
Kenapa?
Tadi aku bisa mengobrol dengan Sehun
tapi sekarang?
“ Luhan?” tegur kakek.
Aku mendongak lemah dan menatap kakek
dengan keputus asaanku. Kakek menarikku dan memelukku.
“ ayah dan ibumu datang menjemputmu
nak. Pergilah… sudah saatnya kau hidup bersama mereka.”
Aku terkesiap.
Tidak! Aku tak mau!
Aku menggeleng keras keras berusaha
emnunjukkan pada kakek jika aku tak mau pergi. banyak yang ingin aku
ceritakan pada kakek soal kejadian tadi. Aku ingin mengatakan jika
aku sudah memiliki teman, namanya Kris, dia memberiku mawar biru
ini. Tapi..
Mawar biru?
Aku menatap tanganku kosong. tak ada
mawar biru dalam genggamanku.
Kemana mawar biru itu? Bukankah tadi
aku sedang memegangnya? Aku meletakkannya dimana?
Aku masih bingung, tapi sekejap
kemudian yang aku tahu ayah dan ibuku muncul, lalu menyeret tubuhku
masuk ke dalam mobil mewahnya. Membuat pandangan ataku hanya tertuju
pada sosok kakek yang melambai ke arahku dengan senyum keriputnya.
Bagiku ingatanitu seperti kotak
kotak kardus yang berserakan…
Seperti laci laci penyimpanan
kenangan…
Meskipun telah beribu malam yang
pekat terlampaui oleh guratan waktu..
Kenangan tentangmu tetap membekas
dalam ingatanku
Black House… Blue Rose.. and
Memory
Jariku terus bergerak, menggesek kuas
cat hitam ked lam kanvas putih dihadapanku. Menorehkan sebuah garis
panjang lurus pada permukaan lembar kanvas putih. Sudah 8 tahun
berlalu, dan inilah jadinya aku.
Luhan, pemuda bisu. Pelukis muda yang
terkenal karena lukisan anehnya yang berjudul Black House, Blue Rose,
and Memory. Orang tuaku yang awalnya mengecam kebiasaan anehku
menggambar objek aneh yang terlihat seperti rumah bercat kelam sejak
8 tahun lalu, kini tak lagi mempermasalahkannya. Tch tentu saja
mereka tak akan protes lagi, bukannya mereka beruntung karena mereka
dapat mengumpulkan uang uang dari hasil lukisanku yang dulu mereka
anggap menyeramkan itu.
Padahal setiap tahun yang terlewati –
dulu- selalu mereka gunakan untuk mendencih ketika jari jariku mulai
menggambarkan lagi pola pola aneh berwujud rumah berwarna hitam
pekatdi perbukitan berkabut itu, karena mereka menganggap itu ‘horror
‘. Tapi sudahlah, toh kini mereka tidak rebut lagi, jadi aku tak
perlu kesal lagi dengan keadaan ini. Tak ada gunanya mendendam. Toh
hidup itu seperti komposisi seperti lukisan lukisan yang kubuat ini.
Kadang aku tak tahu kenapa bagian kanvas kuisi dengan tinta hitam,
sedang bagian lain kubiarkan kosong. Aku hanya akan menjalani hidupku
seperti kuas yang kupegang, yang tak peduli kemana dirinya akan
dicelupkan, ke tinta cerah, atau tinta yang gelap. Yang dia tahu
hanya dia harus dicelupkan dan dioleskan. Dia hanya tahu kalau
tugasnya hayalah membawa warna yang menurut kehendak penulisnya.
Begitupun aku. Aku hanya akan menjalani hidupnya sesuai dengan
guratan taktir yang dituliskan oleh Tuhan untukku. Sudah, begitu
saja. Tamat. End.
Huffttt…
Aku mengambil kuas baru dan kucelupkan
ke tinta berwarna biru gelap. Aku mulai lagi.. Hhhh.. akupun tak tahu
kenapa tanganku tak bias berhenti melukiskan objek yang satu ini. Rumah bercat hitam, dengan rimbunan mawar berwarna biru di
pekarangannya. Aku suka.. aku kecanduan, karena ketika melukiskan
objek ini, aku akan selalu teringat tentang dia.. tapi bukan berarti
aku tak mengalami ‘ fase penting’ itu.
Aku tak tahu sejak kapan perasaan aneh
ini muncul. Hanya saja aku mulai memikirkan hal hal aneh tentang
‘dia’ dalam kurun waktu beberapa tahun ini, tepatnya ketika aku
mengalami masa puberku untuk yang pertama kali. Aku memang bisu,
memang anti social, memang aneh, bahkan sikap semua rang padaku juga
selalu mengingatkan padaku jika aku itu ‘menyeramkan’.
Kembali pada topic. Aku mulai
memikirkan ‘pria pucat’ itu sejak aku menginjak usia 16. Ketika
aku bermimpi tentangnya. Bibirku mengulas senyum ketika aku mengingat
mimpi itu. Saat itu aku tak tahu itu apa. Tapi aku sering mendengar
istilah mimpi basah yang sering terjadi pada remaja seperti yang
terjadi padaku saat itu. Anehnya kenapa harus Kris yang hadir dalam
mimpiku. aku bahakn baru sekali bertemu dengannya. Aneh tapi aku
suka. Akankah aku bisa kembali bertemu dengannya?
Aku baru saja menghempaskan bokongku ke
kursi dan duduk menghadap kanvasku seperti biasanya. Tiba tiba saja
ibuku masuk dengan langkah gemetaran dan menangis. Aku mengerutkan
dahi, menunjukkan ekspresi heran sebagai ganti untuk pertanyaan ‘
Mama, apa yang terjadi?’ dan dalam sekejap saja ibuku sudah
memelukku erat. Ada apa?
“ Luhan.. kakekmu meninggal.. digigit
hewan buas”
Jantungku seperti berhenti berdetak.
Kakekku? Orang yang kusayangi? Yang selalu kurindukan selama ini?
Sudah meninggal?
Air mataku jatuh. Aku enar benar
menangis kali ini.
“ Kita akan berangkat ke desa.
Kakekmu meninggalkan surat wasiat pembagian warisan, dan kita harus
kesana Luhan. Aku yakin kakekmu pasti meninggalkan sesuatu untukmu”.
Aku mengutuk dalam hati. Mengapa dalam
keadaan seperti inipun ibuku masih sempat memikirkan soal warisan?
Dasar mata duitan!!!!
Senja mulai membentangkan cahaya pucat
matahari. Aku memutuskan keluar dari lingkaran orang orang tua yang
salingmembicarakan pembagian warisandi dalam rumah almarhum kakek.
Aku tak tertarik dengan pembagian warisan. Aku lebih penasaran untuk
menaiki bukit dan mencari keberadaan Black House yang selalu terpahat
apik dalam ingatanku.
Kakiku menapak menyusuri jalanan yang
menanjak naik. Aku baru sadar jika langahku ini terasa sagat ringan.
Sama sekali tak terasa berat seperti saat aku masih umur 12 tahun
dulu. Nafasku tak sampai terenggah ketika aku sampai di sebuah pohon
berlumut yang posisinya sudah tak lurus lari, sudah agak membngkuk
kini. Aku masih ingat jika saat itu aku tengah menggambar bunglon
yang menempel pada batang pohon ini . sebelum hujan turun.
Aku mendekat kearah pohon itu, lalu
kupejamkan mataku, kucoba mengingat ingat bagaimana posisiku ketika
dulu aku melihat rumah itu.
Setetes air mendarat dipipiku. Kubuka
mataku dan menatap langit. Mendung dan… hujan. Aku melindungi
kepalaku dengan kedua tangan, namun tak membantu. Dan ketika itulah
aku melihatnya. Rumah hitam itu ada disebelah sana rumahnya. Padahal
sepertinya aku tadi tak melihat apapun, tapi kini rumah itu hanya
berada beberapa meter dari tempatku berdiri.
Dejavu
Aku berlari lari kea rah rumah itu.
Kubuka pagarnya terburu buru sampai menyebabkan bunyi berdendang yang
sangat keras. Keadaan rumah itu tak berubah sama sekali . persis sama
seperti pada saat aku masih berumur 12 tahun. Rimbunan bunga mawar
berwarna biru. Aku merasa nyaman berada di sini.
“ Luhan?”
Aku hampir terlonjak ketika aku
mendengar suara itu. Kuputar batang leherku dengan perlahan. Aku
gugup. Dan dia ada disana... sedang menataplu dengan pancaran mata
yang menyiratkan.. err.. kerinduan?
“ Kris ”
Ah, aku bisa bicara lagi! Keanehan yang
terjadi hanya saat aku berada dekat dengannya.
Dia tersenyum dan memelukku sangat
erat, menyerukkan bibirnya pada lekuk leherku dan menghirup aroma
tubuhku dalam dalam. Kucengkeram erat punggungnya dan aku juga
menghirup aroma tubuhnya.
“ Kris, bagaimana bisa kau tahu
kalau ini aku?” tanyaku dengan mata terpejam, masih menghirup aroma
tubuhnya yang seperti mawar.
Kris mengelus punggungku dan mengecup
pipiku sekilas.
“ Kau cantik.. bentuk matamu indah..
hanya kau yang meniliki wajah seperti itu. Dan darahmu...
memanggilku.”
Aku terdiam, kutarik diriku dan kutatap
matanya. Wajahnya masih sama. Tak ada yang berubah sedikitpun,
padahal aku bertemu dengannya terakhir kali saat aku masih anak anak.
Dan kemesraan ini terjadi.
Dia tersenyum padaku dan menempelkan
dahinya pada dahiku.
“ Aku merindukanmu” katanya
“ Aku juga merindukanmu.. aku
memimpikanmu setiap malam.” jawabku.
“ Aku tahu.”
dia tahu?
Kami hanya terdiam, saling menatap
dengan pandangan redup. Dia mendekat dan semua terjadi begitu saja.
Bibirnya menyentuh bibirku dan aku memeluk tengkuknya yang kini
menjadi sangat mudah kugapai. Dulu tinggiku hanya sebatas perutnya,
tapi kini kami sudah hampir sama. Ciuman ini berakhir dan Sehun
kembalitersenyum padaku.
“ Kau kedinginan?”
aku mengangguk.
“ Masuklah..”
aku mengangguk kecil mengikuti
langkahnya memasuki rumah.
“ Luhan..”
Sebuah suar serak memanggil namaku,
menghentikan langkahku. Aku menoleh dengan cepat dan..
“ Kakek!!” pekikku
Kakekku? Benarkah?
Aku sudah hampir berlari untuk memeluk
kakek tapi..
SRETT
Tanganku ditahan oleh Kris .
“ Jangan.. kau tak bisa kesana Luhan.
Kakekku sekarang berbeda denganmu.
Aku mengerutkan dahi.
“ aku tak melihat perbedaannya Kris.
Aku merindukan kakekku. Aku rindu padanya.”
“ Jangan.. kau tak boleh.. dia bisa
membunuhmu.”
Huh, membunuhku?
Kulihat kakekku mentap tajam padaku di
seberang pagar sana, tapi tak berani masuk ke dalam. Entah mengapa.
Matanya nyalang menatapku.
“ Kalian berbeda Luhan. Kau siang dan
dia malam.”
Keningku mengkerut, aku tak mengerti.
“ Tapi aku merindukan kakekku Kris.”
“ Kalau begitu kau harus memilih,
sekali kau memilih malam kau tak akan bisa kembali ke siang.”
“ Memilih?”
“ Huum, siang atau malam.?”
Aku terdiam. Kuarahkan pandanganku ke
arah kakekku. Hujan telah berhenti. Semburat senja di cakrawala
menerpa tubuh kakek. Kurasakan jemari sehun mengelus leherku.
Kurasakan bibir tipisnya mengecup leherku. Aku merinding, jangtungku
berdetak keras, panas, gerah, darahku bergejolak.
“ Siang atau malam Luhan?”
aku memejamkan mataku dan menjawab.
“ Malam.”
Kris mendesisi pelan, lalu kembali
mencapai leherku, menjilat beberapa kali dan...
Darahku mengalir derat menuju ke satu
titik yang sedang dikecupnya, tapi aku merasa ringan. Aku memejamkan
mata. Di balik mata yang terpejam aku melihat kenangan kenangan
ketika aku kecil berhamburan meninggalkan diriku, mendesis, menguap,
dan menghilang. Dan aku kosong.
Dalam hitungan beebrapa detik malam
menjadi terang dalam pandanganku. Bisa aku lihat dengan jelas tetesan
air dari pucuk dedaunan yang berada jauh disana. Aku juga bisa
melihat semut yang merayap cepat di sebatang pohon yang berjarak 3
meter dariku.
Aku menoleh ke arah pagar, yang
sepertinya beberapa saat yang lalu ingin kudatangi. Namun keinginan
itu tak ada lagi. Semuanya lenyap.
Otakku kosong, tak ada kenangan apapun
lagi di dalamnya. Aku seperti kardus kosong yang berserakan. Seperti
laci kosong yang tak memiliki isi. Segala ingatan dan kenangan telah
lenyap tak tersisa.
Kris memelukku erat dan sebuah kecupan
mendarat dipipiku. Aku menoleh dan melihat wajah tampannya wajah
tampannya. Tidak aku masih memiliki kenangan, buktinya aku masih
ingat siapa pria tampan yang berdisi disampingku. Krisku..
“ selamat datang di kegelapan
sayang.” sambutnya padaku.
Aku tersenyum dan kukecup bibirnya.
Tubuh kami lenyap dibalik pintu, dan
sejak senja itu dan seterusnya aku berdiam di dalam Black House
dengan waktu yang tak menepi.
Hidup itu seperti komposisi.
Hanya diam dan biarkan tubuhmu terseret
arus takdir yang membawamu, meskipun takdir
menuntunmu untuk mengakhiri hidupmu
sebagai manusia.
No comments:
Post a Comment