Aku mengetuk ngetuk jemariku dengan
malas diatas meja kayu. Mataku terpaku pada bingkai foto yang
terpajang di dinding sambil memikirkan apa yang akan aku lakukan.
Foto pernikahan kami.
Maura dan aku. Maura terlihat begitu
bersinar di dalam foto itu. Senyum lebar terpancar di wajahnya. Aku
bahkan tidak ingat kalau dia pernah tersenyum begitu lebar selain
saat kami menikah.
Foto itu adalah satu satunya foto yang
masih tersisa di rumah kami. Yang lain telah musnah. Entah itu
dibanting, dirobek, atau hanya sekedar dimusnahkan dan disimpan di
belakang lemari.
Suara gemerincing kunci yang diputar di
pintu depamn mengalihkan perhatianku. Dan tiba tiba aku merasa takut
dengan apa yang akan terjadi.
“ Maura? Apa itu kau?”
“ Memangnya ada orang lain yang
tinggal disini selain aku?” teriaknya sarkastik dari ruang depan.
Pertanyyaan bodoh, seharusnya aku tahu
itu. Aku menelan ludahku dengan susah payah menunggunya muncul di
hadapanku. Da beberapa saat kemudian dia sudah muncul dan berdiri
disana. Masih secantik dulu bahkan setelah semua trauma yang
dialaminya –Yang kami alami-.
“ Maaf.” Ucapku pelan. “ aku tahu
itu adalah pertanyan bodoh.”
“ Ya. Sangat bodoh!” Maura berjalan
lurus melewatiku dan berhenti di depan meja dapur. Membuka lemari
yang bergantung di atasnya. Dia sedikit meringis karena pergerakannya
itu.
Tanpa mengucapkan apapun aku meraih
pergelangan tangannya dengan lembut dan menahannya untuk tidak
mengambil gelas itu sendiri. Dia mendengus sebal karena sikapku. Satu
hal yang sudah biasa bagiku selama beberapa bulan ini. Hanya saja,
kali ini alasannya sedikit berbeda dari alasan yang aku punya
beberapa minggu lalu.
“ Apa kau yakin kau sudah siap
kembali bekerja? Kau bahkan tidak bisa mengangkat tanganmu tanpa
meringis sakit.” Ucapku padanya dengan sangat lembut. Karena aku
tahu jawaban apa yang akan aku dapat darinya.
“ Lalu apa yang harus aku lakukan?
Tidur diatas kasur sepanjang hari?” Maura mengambil gelas
ditanganku dan menuangkan segelas air untuknya.
“ Isrirahat bukan sesuatu yang buruk,
Ra.”
“ Kau bisa istirahat selama yang kau
mau Kris!” balasnya ketus “ Kau bisa menghabiskan waktu sesuka
hatimu diatas kasur dan membiarkan pikiran pikiran itu memakanmu.”
Aku memegang pergelangan tangannya
lembut dan menariknya pelan. Memberi isyarat baginya untuk duduk.
Saatnya bagiku untuk ikut campur.
“ Aku akan membewamu ke dokter, agar
dia bisa menyatakan kalau kau benar benar belum boleh kembali
bekerja.” . Dia terbelalak menatapku. Pikirannya pasti sedang
memproses apa yang baru saja aku katakana padanya.
“ Kau tidak bisa begitu saja
memerintahku untuk pergi ke dokter!” ucap Maura pada akhirnya,
dengan suara yang mulai meninggi.
“ Aku tak memerintahmu Ra, aku hanya
meminta.”
“ Dan jika aku menolaknya?”
“ Jika kau menolaknya, maka aku kan
mengembalikan ini padamu.” Aku memainkan cincin yang tersemat di
jari kiriku.
Aku sedang bersikap kasar, aku tahu
itu. Sebenarnya ini cukup menyakitkan juga untukku. Tapi aku harus
melakukannya.
“ Apa kau sedang mengancapku?” mata
Maura menyipit. “ Apa kau benar benar suamiku? Karena aku tahu
suamiku tak akan pernah menceraikanku dengan alasan bodoh seperti
ini.”
Kulihat matanya mulai berkaca kaca. Dan
ini adalah sebuah petanda baik. Setidaknya dia tidak mati rasa.
Emosinya tersulut. Menurut dokter, itu lebih baik daripada tidak
merasakan apapun sama sekali. Itu tandanya Maura mulai mau berdamai
dengan .. trauma yang dia alami.
“ Well, mungkin kau tidak benar benar
mengenal suamimu dengan baik.”
Air mata itu menghilang dan mata itu
kini menyala dengan sebuah api yang begitu familiar bagiku.
“ Kau brengsek!” suara Mura
terdengar kasar. “ Kalau begitu akau akan menceraikanmu terlebih
dahulu sebelum kau sempat menceraikanku!.”
“ Tidak jika aku bisa menbatalkan
pernikahan ini sebelum itu.” Jawabku.
Air mata itu kembali menggenang
dipelupuk matanya. Dan itu benar benar menghancurkan hatiku.
“ Apa yang kau katakan?” Maura
menyeka air mata yang bergulir dipipinya kasar.
“ Yang aku katakan adalah, jika aku
tidak bisa menjadi suami yang KAU BUTUHKAN maka mungkin apa yang
terjadi diantara kita adalah sebuah kesalahan.”
“ Aku tahu kau tidak bersungguh
sungguh mengatakan itu.” Suaranya gemetar, dan ketakutan jelas
terpancar di kedua matanya.
Apa dia benar benar berfikir aku akan
pergi meninggalkannya. Hatiku berdebar kencang, rencanaku berhasil.
“ Apa kau..” suara maura terdengar
lebih pelan sekarang. “ Apakah ini karena aku mungkin tidak akan
pernah memberikanmu keluarga besar yang selalu kau inginkan?” Maura
menundukkan kepalanya, jemarinya memainkan cincin di tangannya
membuat ku merasa lebih sesak dari sebelunya.
“ Kau tahu jawabannya Ra.”
Aku mencoba mengucapkan kalimat
sesingkat mungkin. Karena aku tahu jika aku mengatakan kalimat yang
lebih panjang mungkin justru aku yang menangis.
Mata bening itu menata lurus mataku,
memcoba membacaku.
“ Benarkah aku tahu?” jawabnya
lemah sembari menyeka air matanya.
“ Ya, kau benar benar tahu.” Aku
meraih tangan Maura ke dalam genggamanku.
“ Kau tidak sungguh sungguh ingin
cerai Kris. Tapi kenapa kau mengatakan itu-“
“ Aku tak tahu harus berbuat apa lagi
Ra.” Aku merasakan perlahan air mata turun ke pipiku. “ Kau
mengabaikan banyak hal” aku menelan ludahku, menunggu ledakan yang
akan keluar dari Maura.
Namun aku terkejut saat dia justru
kembali bersikap tenang. Air matanya kembali hilang. Dia sangat
tenang, seakan mendengar apa yang kukatakan dengan seksama.
“ Kau bersikap baik baik saja. Kau
memasang wajah berani. Dan kau melanjutkan hidupmu seolah olah tidak
terjadi apa apa. Jika bukan karena rasa sakit di fisikmu, kau pasti
akan berlarian di dalam rumah, mencuci, dan melakukan semua pekerjaan
begitu kau keluar dari rumah sakit.”
“ Setiap orang bisa kehilangan
bayinya Kris, dan itu bukanlah akhir dari dunia ini.”
“ Tentu saja bukan. Tapi kau
diperbolehkan berduka Ra. Kau diizinkan untuk bersedih.”
“ Aku merasakan banyak hal Kris.”
Ekpresinya tak terbaca kembali.
“ Tapi masalahnya Ra, kau sama sekali
tak merasakan apapun.” Aku mengabaikan rasa sakit yang kurasakan di
dalam dadaku saat Maura menarik tangannya dalam genggamanku .
“ Aku menggenggam tanganmu saat
pemakaman itu Ra. Kau bahkan tak membiarkan setetes air matapun
mengalir di pipimu.”
“ Jadi maksudmu sekarang aku adalah
monster berhati dingin? Kalau begitu ceraikan aku.”
“ Apa yang kau inginkan?” aku
mengusap air mataku.
“ Kau yang mengungkitnya lebih dulu.
Kau kan yg ingin menceraikanku?” katanya datar.
Aku harus berhenti menangis jika aku
ingin Maura megerti. Ya Tuhan aku benar benar seperti pengecut
sekarang. Dengan sikapku yang seperti ini kalian pasti berfikir kalau
aku yang kehilangan bayi dalam perutku.
“ Perceraian bukan jawaban Ra.”
“ Lalu mengapa kau tadi
mengungkitnya?”
“ Aku hanya ingin melihat reaksimu.
Aku ingin melihat apa kau merespon apa yang kukatakan atau tidak sama
sekali.”
“ Lalu apa? Kau sedang mengujiku
sekarang? Haruskah kau menjadi lebih brengsek seperti ini dan
melukaiku? Membuatku merasakan sakit yang lebih dari yang telah aku
rasakan?”
“ kau sama sekali tak menunjuukan
kalau kau terluka.”
“ Aku terluka, dan aku tak harus
menunjukkannya.”
“ Tak sehat memendam semuanya sendiri
Ra.”
“ Menangis juga tak akan ada gunanya.
Itu tak akan membuat..” Maura menelan ludahnya “ Membuat bayi
kita kembali kan?”
“ Tentu saja tidak. Tapi semua akan
menjadi lebih baik.”
“ Semua baik baik saja Kris.”
“ No! semua tidak baik baik saja.”
“ Apa kau membicarakan soal seks?
Jika kau merasa horni dan tidak puas dengan aku yang seperti ini kau
bisa mendapatkannya di tempat lain.”
“ Aku bisa melewati sisa hidupku
tanpa seks selama kau ada disisiku Ra.”
“ Aku ada disini Kris.”
“ Ya. Kau ada disini tapi juga tidak
ada disini.”
“ Itu tidak masuk akal.”
“ Tubuhmu ada disini Ra, tapi kau
tidak. Wanita yang aku kenal, wanita yang kau cintai telah terkubur
di suatu tempat jauh didalam dirimu. Sekarang aku bahkan tidak
mengenalmu lagi. Aku tak tahu begaiman harus bersikap disekitarmu.
Aku tak tahu kau ingin aku menjadi siapA, menjadi apa.”
“ Jadi ini semua tentangmu kan?”
Maura menyilangkan tangannya di dadanya
“ Kau selalu mengambil kesimpulan
dari apa yang kukatakan secara sepihak.”
“ Lalu apa yang kau inginkan? Kau
ingin kau berteriak?”
“ Itu akan menjadi lebih baik.”
“ apa gunanya? Itu akan membuatku dan
kau sakit kepala.”
“ Kau sudah membuatku sakit kepala
Ra.”
“ Aku tak bisa, karena aku tak ingin
merasakan apapun. Aku tak ingin terpuruk.” Dia akhirnya
mengakuinya.
Aku menggeser kursiku lebih dekat
dengannya dan menggenggam tangannya.
“ Membiarkan emosimu keluar bukanlah
sebuah kejahatan Ra.’
“ Aku tak ingin tidur dimalam hari,
karena jika aku memejamkan mataku yang terlihat hanyalah wajahnya.”
Maura menahan isakannya. “Wajah yang tak pernah sempat aku lihat.
Seorang bayi yang tak pernah sempat aku kenal.”
“Aku tahu sayang, aku tahu.”
“ Karena itu aku menyibukkan diriku
sampai aku benar benar lelah dan tidak bisa melakukan apapun selain
tidur. Aku bahkan tidak ingin bangun dari tidurku saat pagi tiba.”
Akunya. Matanya yang berkaca kaca menatap lurus ke matakku. Rasa
sakit itu membuatku dadaku sesak.
“ Tapi kau tetap melakukannya.”
Jawabku, berusaha agar dia tetap bicara.
“ Itu karena aku tak ingin menjadi
bagian dari mereka yang berfikir kalau kehilangan bayi adalah akhir
segalanya. Ada begitu banyak kejadian yang lebih buruk diluar sana
daripada sekedar kehilangan seorang bayi. Aku tak ingin membuat orang
lain khawatir.”
“ Tapi itu bukan tanggung jawabmu
Ra.”
“ Aku bahkan sudah cukup beruntung.
Aku memiliki segala sesuatu yang bisa di beli dengan uang. Secara
materi aku tidak merasa kekurangan apapun. Aku mempunyai lebih dari
yang aku butuhkan. Aku memilikimu, suami yang begitu sempurna. “
air mayanya turn semakin deras.” Kau membuatku begitu bahagia Kris.
Lalu apa yang aku lakukan? Membunuh bayi pertamamu?”
Mataku melebar.
“ Maura, lihat mataku.” Aku
menangkup pipinya dan mengangkat wajahnya agar melihatku. “
Dengarkan aku. Kau TIDAK membunuh bayi kita. Kau mengalami keguguran
dan itu sama sekali BUKAN kesalahanmu. Apa sudah jelas?”
“ Seharusnya dia ada bersama kita
sekarang kalau saja kecelakaan itu tak terjadi.”
“ Seseorang menabrakmu dan itu bukan
salahmu.”
“ Seharusnya dari awal aku tidak
mengemudi Kris. Dokter bahkan sedah memperingatkanku kalau rasa
pusing yang sering aku alami itu bisa membahayakanku dan orang lain
jika aku mengemudi.”
“ Apa kau merasa pusing saat
kecelakaan itu?” tanyaku. Sebuah pertanyaan yang sudah kuketahui
jelas jawabannya.
“ Aku memang tidak pusing, tapi..”
“ Tidak ada tapi tapian Ra. Itu BUKAN
salahmu.” Bahu kecil itu mulai bergetar saat ia mulai menangis dan
aku segera menariknya ke dalam pelukanku, berusaha menenangkannya.
“ Aku sangat mencintainya Kris.”
“ aku tahu sayag. Aku tahu. Aku juga.
Kita semua mencintainya.”
“ Aku hanya.. ingin melupakan
semuanya. Aku ingin melupakan kenyataan kalau ini pernah terjadi.”
“ kita akan selalu mengenangnya dan
menyayanginya.” Bisikku sembari mencium puncak kepala Maura
berulang.
“ Saat aku mendengar dia telah pergi,
aku merasa gagal.”
“ Gagal? Bagaimana bisa?”
“ Aki tidak tahu. Aku merasa setelah
semua yang kaulakukan untukku, aku bahkan tak Bisa membalasmu dengan
seorang bayi. Aku tak bisa menjaga dan mempersembahkannya untuKmu.”
“ Semua tentangmu adalah tentangku
juga Ra. Kau tak berhutang apapun padaku. Kau membalas semua yag
kulakukan lebih dari yang bisa aku berikan. Suatu hari nanti saat
rumah ini dipenuhi dengan Maura kecil dan Kris kecil kau akan
mengingat hal ini dan menyadari betapa kuatnya dirimu. Baik secara
fisik maupun mental.”
“Bagaimana kau bisa yakin?”
“ Kau tak mendengar apa kata dokter?
Kau baik baik saja. Rahimmu juga baik baik saja. Kita bisa punya bayi
lagi.” Bisikku
“ kau benar benar suami yang sempurna
Kris.”
Sebuah tawa kecil keluar dari bibir
Maura. Dan hatiku berteriak senang saat mendengar suarA berharga itu.
“ Tidak lebih sempurna darimu Queen.”
Ujarku seraya mencubit hidung mungilnya.
“ Boleh aku lihat lukamu?”
Untuk sesaat aku berfikir kalau Maura
akan menolak dan akan menembunyikan tubuhnya dariku. Tapi
kenyataannya tidak. Dengan perlahan dia mengangkat bajunya sampai aku
bisa melihat bekas luka diperutnya. Jariku bergetar saat menyentuh
kulitnya dan menggerakkannya secara perlahan pada satu satunya bekas
luka fisik yang menandai adanya kehidupan singkat bayi perempuan kami
yang belum sempat lahir.
“ Apa aku menyakitimu?” tanyaku
panic saat aku melihat air mata menetes dipipinya.
Maura menggeleng cepat dan kembali
meletakkan tanganku di perutnya.
“ Tidak, tidak sama sekali hanya
saja.. sudah cukup lama sejak terakhir kali kau menyentuh perutku.”
Tangis Maura kembali pecah. “ Terakhir kau menyentuhnya, dia
menendang nendang.”
Aku menelan kembali isakanku dan
menarik cintaku ke dalam pelukanku.
“ Aku tak percaya aku begitu sering
mengeluh saat dia menendang nendang. Semuanya tampak begitu…”
“ Ra.” Bisikku membawa tubuhnya
sedekat mungkin dengan tubuhku.
“ Hmm..” Maura mengenkat kepalanya
dari dadaku, mata menatapku.
“ Saat kau- “ aku menelan ludahku
kasar “ Sebelum mereka membawamu ke ruang operasi…” aku
berpaling dari tatapan khawatirnya, seakan tak mampu menatap matanya
saat aku harus mengucapkan ini.
“ Aku menyuruh mereka
menyeamatkanmu.”
Saat mataku kembali terfokus padanya
aku bisa melihat ekspresi bingung di wajahnya. Aku menggelengkan
kepalaku saat aku merasakan bulir bulir air mata yang menyakiti
mataku .
“ Aku mengatakan pada mereka jika
seandainya aku disuruh memilih…”
Wajah cantik Maura berganti dengan
ekspresi terluka saat menyadari apa yang aku ucapkan.
“ Aku sangat takut.” Lanjutku,
seolah tak bisa berhenti berbicara “ Aku sangat takut kehilanganmu
Ra. Aku tahu ini terdengar sangat jahat, tapi saat itu yang
kupikirkan hanya ada satu Maura di dunia ini..”
“ Dan kita bisa punya bayi yang
lain.” Maura menyimpulkan.
Aku mengenggelamkan wajahku pada
rambutnya dan aku menikmati sensasi saat lengannya melingkar di
pinggangku, menarik tubuhku agar lebih dekat. Aku tahu dia sedang
mencoba menenangkan dirinya dan diriku.
“ kau adalah duniaku Ra! “ tangisku
“ Dan jika aku harus hidup tanpamu…”
“ Ssshh… “ bisiknya , menghujani
wajahku dengan ciumannya yang begitu menenangkan “ Aku tahu sayang.
Aku tahu.”
“ Aku tak tahu apa yang aku lakukan
jika terjadi sesuatu padamu.” Aku menangis. Menumpahkan semua
emosi yang telah lama aku simpan sejak aku menerima panggilan dari
Rumah Sakit, memberitahukanku tentang kecelakaan yang dialami istriku
yang sedang hamil. Kecelakaan yang bisa saja merenggut Maura dari
sisiku bersama dengan putrid kami yang belum lahir.
“ Aku berfikir kalau aku bisa membuat
pilihan, itu terdengar sangat mengerikan . Tapi…”
“ Aku mengerti.” Ujarnya
meyakinkan. “ Aku juga akan melakukan hal yang sama.”
“ Teima kasih.” bisikku “ Terima
kasih .”
“ Kau tak perlu mengucapkan terima
kasih” Maura menangis bersamaku. Mencium bibirku berulang ulang “
Aku sangat mencintaimu.”
“ Kau terlihat sangat pucat. Aku
pikir.. kau telah meninggalkanku.”
“ Ssshhh.” Maura mengusap
punggungku sayang dalam pelukannya. Membiarkan air mataku membasahi
bajunya. “ Aku ada disini. Aku baik baik saja.”
“ Ketika mereka menemukan denyut
nadimu, aku merasa seperti bernafas lagi. Dokter bilang kau meiliki
banyak luka dalam, aku bahkan tak bisa mencerna apa yang dikatakan
dokter saat itu. Aku bahkan tak memikirkan putrid kita sama sekali.
Bukankah aku adalah seorang ayah yang jahat?” ratapku.
“ Saat itu kau mengkhawatirkanku. Kau
pasti akan menjadi ayah yang baik suatu saat nanti.”
“ Saat itu aku tak memikirkannya. Aku
begitu mati rasa saat itu. Aku sangat ingin melihatmu membuka matamu.
Hanya itu yang aku pedulikan.”
“ Itu normal sayang.”
“ Dan ketika mereka membawamu ke
ruang operasi aku benar benar tak ingin kau pergi dari pandanganku.
Aku tak bisa menunggu di luar tanpa tahu apa yang terjadi padamu. Dan
saat aku memikirkan bagaimana mereka membuka dan membelah tubuhmu..
aku benar benar tidak bisa.”
aku mengambil waktu untuk bernafas.
“ Dan saat mereka keluar ruang
operasi untuk mencari lebih banyak darah. Aku panik. Aku mengatakan
pada mereka untuk mengambil semua darahku jika itu bisa
menyelamatkanmu.”
“ Golongan darah kita tak sama Kris.”
bisiknya, menyeka air mataku dengan lembut.
“ Aku tak bisa berfikir rasional Ra.
Aku hanya ingin kau..”
“ Hidup.” aku mengangguk
“ Dan mereka bilang bayi kita juga
membutuhkan tranfusi darah. Ia tidak..” aku menangis tersedu sedu.
“ Dia belum pergi saat itu. Mereka mengatakan kalau dia memiliki
darah yang sama denganku. Jadi mereka mengambil darahku. Tapi itu tak
cukup.”
“ Kau melakukan semua yang kau bisa.”
“ Seharusnya aku bisa lebih berusaha
lagi.”
“ Tidak ada yang bisa kau lakukan
sayang.” Maura mengusap kepalaku lembut.
“ Saat kau keluar dari ruang
operasi...” bayangan itu akan tetap terpatri di dalam kepalaku. “
Kau terlihat begitu rapuh. Bahkan aku berfikir kalau sebuah sentuhan
kecilpun akan membuatmu hancur. Dan perutmu sudah tak sebesar
sebelumnya.mereka bilang jika aku mau melihatnya. Tapi aku tak pergi.
Aku tak bisa meninggalkanmu. Aku tak pergi untuk melihat putri kita
selama beberapa jam dia ada di dunia ini Ra. Yang aku pikirkan hanya
dirimu. Dan mereka tidak bisa membawa putri kita padaku karena dia
ada di ruang inkubator.”
aku menghela nafas
“ Saat itu tanganmu disangga Ra. Aku
ingat sekali . Mereka bilang tanganmu rusak karena kau meletakkan
tanganmu diatas perutmu sebelum tabrakan itu terjadi. Hal pertama dan
terakhir yang kau pikirkan adalah bayi kita. Sedangkan aku hanya
memikitkanmu dan bagaimana aku akan menjalani hidup tanpamu. Putri
kita juga membutuhkanku. Tapi aku tak pergi untuk menemuinya.”
“ Itu bukan salahmu Kris. Dia belum
cukup umur untuk hidup.” Maura begitu kuat. Bagaimana dia bisa
melakukannya?
“ Tapi seharusnya aku menemuinya. Aku
bisa mengatakan padanya bahwa kita sangat mencintainya.. aku bisa
menyentuhnya..”
“ Paru parunya sangat kecil. Dia
lahir 3 bulan sebelum waktunya. Dia tidak mungkin bisa bertahan.”
“ Maafkan aku.” tangisku “
Maafkan aku. Ini salahku dan justru kau malah menyalahkan dirimu.
Justru kau yang menyalahkan dirimu. Jika saja aku melihatnya dan
mengatakan kita sangat mencintainya mungkin dia akan berjuang.”
“ Tidak Kris. Dia memang masih
terlalu kecil.” Maura mengusap air mataku. “ Aku yakin dia sangat
tahu kalau dia sangat dicintai orang tuanya.” ia membawaku dalam
dekapannya. “Aku yakin dia tahu kalau kau sosok ayah yang
terbaik.”
“ Apa kau tak ingat saat dia merespon
suaramu.” ucap Maura lembut. Tatapan sayangnya tak pernah
meninggalkanku. “ Setiap kali kau bicara dia akan menendang. Setiap
kali aku berbuat kasar padmu dia menendang sangat keras, seolah
menyuruhku untuk berhenti memarahimu.” Maura tertawa pelan. “
Bayi kita sudah jadi putri kecil Papa bahkan sebelum dia lahir. Dia
juga mencinbtaimu.”
Kata kata Maura semakin membuatku
menangis hebat dan memeluknya semakin erat. “ Dimalam hari, saat
kau meletakkan tanganmu diatas perutku dan berkata padanya untuk
menunda permainan bolanya selema beberapa jam agar aku bisa tider,
dia akan mendengarnya dan menurut. Aku bahkan sangat cemburu pada
ikatan diantara kalian berdua.” ucapnya seraya tertawa pelan. “
Aku adalah orang yang mengandungnya tapi dia malah lebih dekat
denganmu.”
“ Dia pasti akan sangat mencintaimu.
“ bisikkku sambil menatapo istriku yang cantik. Mauraku. Dia pasti
akan menjadi ibu yang baik. Itu pasti. Suatu saat nanti.
“ Dia akan menjadi sanagt mirip
denganmu. Tersenyum manis sepertimu.” Maura tertawa dengan
ucapannya sendiri, membuatku ikut tertawa bersamanya. “ Lalu dia
kana berlari padaku dan mengeluhkan betapa papanya terlalu
overprotective.”
“ Kalau itu aku pasti akan
melakukannya Ra.” aku mencoba untuk tersenyum. Tapi hatiku sangat
sakit. “ Aku mencintainnya Ra, sangat.”
“ Aku tahu. Dan dia juga pasti tahu.”
“ Tapi aku tak ada disampingnya saat
dia membutuhkanku.”
“ Dan aku tahu, dia tak ingin berada
di tempat lain saat itu.”bisiknya “ Dia tahu mamanya juga sangat
membutuhkanmu.”
“ Dan aku juga membutuhkanmu Ra.”
end
Nb. Gambar nya itu bukan hasil editanku sendiri. itu hasil comot. ga semper ngedit soalnya.
No comments:
Post a Comment