Friday, 14 November 2014

LOVE BEFORE







Aku mengetuk ngetuk jemariku dengan malas diatas meja kayu. Mataku terpaku pada bingkai foto yang terpajang di dinding sambil memikirkan apa yang akan aku lakukan.

Foto pernikahan kami.

Maura dan aku. Maura terlihat begitu bersinar di dalam foto itu. Senyum lebar terpancar di wajahnya. Aku bahkan tidak ingat kalau dia pernah tersenyum begitu lebar selain saat kami menikah.

Foto itu adalah satu satunya foto yang masih tersisa di rumah kami. Yang lain telah musnah. Entah itu dibanting, dirobek, atau hanya sekedar dimusnahkan dan disimpan di belakang lemari.

Suara gemerincing kunci yang diputar di pintu depamn mengalihkan perhatianku. Dan tiba tiba aku merasa takut dengan apa yang akan terjadi.

“ Maura? Apa itu kau?”

“ Memangnya ada orang lain yang tinggal disini selain aku?” teriaknya sarkastik dari ruang depan.

Pertanyyaan bodoh, seharusnya aku tahu itu. Aku menelan ludahku dengan susah payah menunggunya muncul di hadapanku. Da beberapa saat kemudian dia sudah muncul dan berdiri disana. Masih secantik dulu bahkan setelah semua trauma yang dialaminya –Yang kami alami-.

“ Maaf.” Ucapku pelan. “ aku tahu itu adalah pertanyan bodoh.”

“ Ya. Sangat bodoh!” Maura berjalan lurus melewatiku dan berhenti di depan meja dapur. Membuka lemari yang bergantung di atasnya. Dia sedikit meringis karena pergerakannya itu.

Tanpa mengucapkan apapun aku meraih pergelangan tangannya dengan lembut dan menahannya untuk tidak mengambil gelas itu sendiri. Dia mendengus sebal karena sikapku. Satu hal yang sudah biasa bagiku selama beberapa bulan ini. Hanya saja, kali ini alasannya sedikit berbeda dari alasan yang aku punya beberapa minggu lalu.

“ Apa kau yakin kau sudah siap kembali bekerja? Kau bahkan tidak bisa mengangkat tanganmu tanpa meringis sakit.” Ucapku padanya dengan sangat lembut. Karena aku tahu jawaban apa yang akan aku dapat darinya.

“ Lalu apa yang harus aku lakukan? Tidur diatas kasur sepanjang hari?” Maura mengambil gelas ditanganku dan menuangkan segelas air untuknya.

“ Isrirahat bukan sesuatu yang buruk, Ra.”

“ Kau bisa istirahat selama yang kau mau Kris!” balasnya ketus “ Kau bisa menghabiskan waktu sesuka hatimu diatas kasur dan membiarkan pikiran pikiran itu memakanmu.”

Aku memegang pergelangan tangannya lembut dan menariknya pelan. Memberi isyarat baginya untuk duduk.

Saatnya bagiku untuk ikut campur.

“ Aku akan membewamu ke dokter, agar dia bisa menyatakan kalau kau benar benar belum boleh kembali bekerja.” . Dia terbelalak menatapku. Pikirannya pasti sedang memproses apa yang baru saja aku katakana padanya.

“ Kau tidak bisa begitu saja memerintahku untuk pergi ke dokter!” ucap Maura pada akhirnya, dengan suara yang mulai meninggi.

“ Aku tak memerintahmu Ra, aku hanya meminta.”

“ Dan jika aku menolaknya?”

“ Jika kau menolaknya, maka aku kan mengembalikan ini padamu.” Aku memainkan cincin yang tersemat di jari kiriku.

Aku sedang bersikap kasar, aku tahu itu. Sebenarnya ini cukup menyakitkan juga untukku. Tapi aku harus melakukannya.

“ Apa kau sedang mengancapku?” mata Maura menyipit. “ Apa kau benar benar suamiku? Karena aku tahu suamiku tak akan pernah menceraikanku dengan alasan bodoh seperti ini.”

Kulihat matanya mulai berkaca kaca. Dan ini adalah sebuah petanda baik. Setidaknya dia tidak mati rasa. Emosinya tersulut. Menurut dokter, itu lebih baik daripada tidak merasakan apapun sama sekali. Itu tandanya Maura mulai mau berdamai dengan .. trauma yang dia alami.

“ Well, mungkin kau tidak benar benar mengenal suamimu dengan baik.”

Air mata itu menghilang dan mata itu kini menyala dengan sebuah api yang begitu familiar bagiku.

“ Kau brengsek!” suara Mura terdengar kasar. “ Kalau begitu akau akan menceraikanmu terlebih dahulu sebelum kau sempat menceraikanku!.”

“ Tidak jika aku bisa menbatalkan pernikahan ini sebelum itu.” Jawabku.

Air mata itu kembali menggenang dipelupuk matanya. Dan itu benar benar menghancurkan hatiku.

“ Apa yang kau katakan?” Maura menyeka air mata yang bergulir dipipinya kasar.

“ Yang aku katakan adalah, jika aku tidak bisa menjadi suami yang KAU BUTUHKAN maka mungkin apa yang terjadi diantara kita adalah sebuah kesalahan.”

“ Aku tahu kau tidak bersungguh sungguh mengatakan itu.” Suaranya gemetar, dan ketakutan jelas terpancar di kedua matanya.

Apa dia benar benar berfikir aku akan pergi meninggalkannya. Hatiku berdebar kencang, rencanaku berhasil.

“ Apa kau..” suara maura terdengar lebih pelan sekarang. “ Apakah ini karena aku mungkin tidak akan pernah memberikanmu keluarga besar yang selalu kau inginkan?” Maura menundukkan kepalanya, jemarinya memainkan cincin di tangannya membuat ku merasa lebih sesak dari sebelunya.

“ Kau tahu jawabannya Ra.”

Aku mencoba mengucapkan kalimat sesingkat mungkin. Karena aku tahu jika aku mengatakan kalimat yang lebih panjang mungkin justru aku yang menangis.

Mata bening itu menata lurus mataku, memcoba membacaku.

“ Benarkah aku tahu?” jawabnya lemah sembari menyeka air matanya.

“ Ya, kau benar benar tahu.” Aku meraih tangan Maura ke dalam genggamanku.

“ Kau tidak sungguh sungguh ingin cerai Kris. Tapi kenapa kau mengatakan itu-“

“ Aku tak tahu harus berbuat apa lagi Ra.” Aku merasakan perlahan air mata turun ke pipiku. “ Kau mengabaikan banyak hal” aku menelan ludahku, menunggu ledakan yang akan keluar dari Maura.

Namun aku terkejut saat dia justru kembali bersikap tenang. Air matanya kembali hilang. Dia sangat tenang, seakan mendengar apa yang kukatakan dengan seksama.

“ Kau bersikap baik baik saja. Kau memasang wajah berani. Dan kau melanjutkan hidupmu seolah olah tidak terjadi apa apa. Jika bukan karena rasa sakit di fisikmu, kau pasti akan berlarian di dalam rumah, mencuci, dan melakukan semua pekerjaan begitu kau keluar dari rumah sakit.”

“ Setiap orang bisa kehilangan bayinya Kris, dan itu bukanlah akhir dari dunia ini.”

“ Tentu saja bukan. Tapi kau diperbolehkan berduka Ra. Kau diizinkan untuk bersedih.”

“ Aku merasakan banyak hal Kris.” Ekpresinya tak terbaca kembali.

“ Tapi masalahnya Ra, kau sama sekali tak merasakan apapun.” Aku mengabaikan rasa sakit yang kurasakan di dalam dadaku saat Maura menarik tangannya dalam genggamanku .

“ Aku menggenggam tanganmu saat pemakaman itu Ra. Kau bahkan tak membiarkan setetes air matapun mengalir di pipimu.”

“ Jadi maksudmu sekarang aku adalah monster berhati dingin? Kalau begitu ceraikan aku.”

“ Apa yang kau inginkan?” aku mengusap air mataku.

“ Kau yang mengungkitnya lebih dulu. Kau kan yg ingin menceraikanku?” katanya datar.

Aku harus berhenti menangis jika aku ingin Maura megerti. Ya Tuhan aku benar benar seperti pengecut sekarang. Dengan sikapku yang seperti ini kalian pasti berfikir kalau aku yang kehilangan bayi dalam perutku.

“ Perceraian bukan jawaban Ra.”

“ Lalu mengapa kau tadi mengungkitnya?”

“ Aku hanya ingin melihat reaksimu. Aku ingin melihat apa kau merespon apa yang kukatakan atau tidak sama sekali.”

“ Lalu apa? Kau sedang mengujiku sekarang? Haruskah kau menjadi lebih brengsek seperti ini dan melukaiku? Membuatku merasakan sakit yang lebih dari yang telah aku rasakan?”

“ kau sama sekali tak menunjuukan kalau kau terluka.”

“ Aku terluka, dan aku tak harus menunjukkannya.”

“ Tak sehat memendam semuanya sendiri Ra.”

“ Menangis juga tak akan ada gunanya. Itu tak akan membuat..” Maura menelan ludahnya “ Membuat bayi kita kembali kan?”

“ Tentu saja tidak. Tapi semua akan menjadi lebih baik.”

“ Semua baik baik saja Kris.”

“ No! semua tidak baik baik saja.”

“ Apa kau membicarakan soal seks? Jika kau merasa horni dan tidak puas dengan aku yang seperti ini kau bisa mendapatkannya di tempat lain.”

“ Aku bisa melewati sisa hidupku tanpa seks selama kau ada disisiku Ra.”

“ Aku ada disini Kris.”

“ Ya. Kau ada disini tapi juga tidak ada disini.”

“ Itu tidak masuk akal.”

“ Tubuhmu ada disini Ra, tapi kau tidak. Wanita yang aku kenal, wanita yang kau cintai telah terkubur di suatu tempat jauh didalam dirimu. Sekarang aku bahkan tidak mengenalmu lagi. Aku tak tahu begaiman harus bersikap disekitarmu. Aku tak tahu kau ingin aku menjadi siapA, menjadi apa.”

“ Jadi ini semua tentangmu kan?” Maura menyilangkan tangannya di dadanya

“ Kau selalu mengambil kesimpulan dari apa yang kukatakan secara sepihak.”

“ Lalu apa yang kau inginkan? Kau ingin kau berteriak?”

“ Itu akan menjadi lebih baik.”

“ apa gunanya? Itu akan membuatku dan kau sakit kepala.”

“ Kau sudah membuatku sakit kepala Ra.”

“ Aku tak bisa, karena aku tak ingin merasakan apapun. Aku tak ingin terpuruk.” Dia akhirnya mengakuinya.

Aku menggeser kursiku lebih dekat dengannya dan menggenggam tangannya.

“ Membiarkan emosimu keluar bukanlah sebuah kejahatan Ra.’

“ Aku tak ingin tidur dimalam hari, karena jika aku memejamkan mataku yang terlihat hanyalah wajahnya.” Maura menahan isakannya. “Wajah yang tak pernah sempat aku lihat. Seorang bayi yang tak pernah sempat aku kenal.”

“Aku tahu sayang, aku tahu.”

“ Karena itu aku menyibukkan diriku sampai aku benar benar lelah dan tidak bisa melakukan apapun selain tidur. Aku bahkan tidak ingin bangun dari tidurku saat pagi tiba.” Akunya. Matanya yang berkaca kaca menatap lurus ke matakku. Rasa sakit itu membuatku dadaku sesak.

“ Tapi kau tetap melakukannya.” Jawabku, berusaha agar dia tetap bicara.

“ Itu karena aku tak ingin menjadi bagian dari mereka yang berfikir kalau kehilangan bayi adalah akhir segalanya. Ada begitu banyak kejadian yang lebih buruk diluar sana daripada sekedar kehilangan seorang bayi. Aku tak ingin membuat orang lain khawatir.”

“ Tapi itu bukan tanggung jawabmu Ra.”

“ Aku bahkan sudah cukup beruntung. Aku memiliki segala sesuatu yang bisa di beli dengan uang. Secara materi aku tidak merasa kekurangan apapun. Aku mempunyai lebih dari yang aku butuhkan. Aku memilikimu, suami yang begitu sempurna. “ air mayanya turn semakin deras.” Kau membuatku begitu bahagia Kris. Lalu apa yang aku lakukan? Membunuh bayi pertamamu?”

Mataku melebar.

“ Maura, lihat mataku.” Aku menangkup pipinya dan mengangkat wajahnya agar melihatku. “ Dengarkan aku. Kau TIDAK membunuh bayi kita. Kau mengalami keguguran dan itu sama sekali BUKAN kesalahanmu. Apa sudah jelas?”

“ Seharusnya dia ada bersama kita sekarang kalau saja kecelakaan itu tak terjadi.”

“ Seseorang menabrakmu dan itu bukan salahmu.”

“ Seharusnya dari awal aku tidak mengemudi Kris. Dokter bahkan sedah memperingatkanku kalau rasa pusing yang sering aku alami itu bisa membahayakanku dan orang lain jika aku mengemudi.”

“ Apa kau merasa pusing saat kecelakaan itu?” tanyaku. Sebuah pertanyaan yang sudah kuketahui jelas jawabannya.

“ Aku memang tidak pusing, tapi..”

“ Tidak ada tapi tapian Ra. Itu BUKAN salahmu.” Bahu kecil itu mulai bergetar saat ia mulai menangis dan aku segera menariknya ke dalam pelukanku, berusaha menenangkannya.

“ Aku sangat mencintainya Kris.”

“ aku tahu sayag. Aku tahu. Aku juga. Kita semua mencintainya.”

“ Aku hanya.. ingin melupakan semuanya. Aku ingin melupakan kenyataan kalau ini pernah terjadi.”

“ kita akan selalu mengenangnya dan menyayanginya.” Bisikku sembari mencium puncak kepala Maura berulang.

“ Saat aku mendengar dia telah pergi, aku merasa gagal.”

“ Gagal? Bagaimana bisa?”

“ Aki tidak tahu. Aku merasa setelah semua yang kaulakukan untukku, aku bahkan tak Bisa membalasmu dengan seorang bayi. Aku tak bisa menjaga dan mempersembahkannya untuKmu.”

“ Semua tentangmu adalah tentangku juga Ra. Kau tak berhutang apapun padaku. Kau membalas semua yag kulakukan lebih dari yang bisa aku berikan. Suatu hari nanti saat rumah ini dipenuhi dengan Maura kecil dan Kris kecil kau akan mengingat hal ini dan menyadari betapa kuatnya dirimu. Baik secara fisik maupun mental.”

“Bagaimana kau bisa yakin?”

“ Kau tak mendengar apa kata dokter? Kau baik baik saja. Rahimmu juga baik baik saja. Kita bisa punya bayi lagi.” Bisikku

“ kau benar benar suami yang sempurna Kris.”

Sebuah tawa kecil keluar dari bibir Maura. Dan hatiku berteriak senang saat mendengar suarA berharga itu.

“ Tidak lebih sempurna darimu Queen.” Ujarku seraya mencubit hidung mungilnya.
“ Boleh aku lihat lukamu?”

Untuk sesaat aku berfikir kalau Maura akan menolak dan akan menembunyikan tubuhnya dariku. Tapi kenyataannya tidak. Dengan perlahan dia mengangkat bajunya sampai aku bisa melihat bekas luka diperutnya. Jariku bergetar saat menyentuh kulitnya dan menggerakkannya secara perlahan pada satu satunya bekas luka fisik yang menandai adanya kehidupan singkat bayi perempuan kami yang belum sempat lahir.

“ Apa aku menyakitimu?” tanyaku panic saat aku melihat air mata menetes dipipinya.

Maura menggeleng cepat dan kembali meletakkan tanganku di perutnya.

“ Tidak, tidak sama sekali hanya saja.. sudah cukup lama sejak terakhir kali kau menyentuh perutku.” Tangis Maura kembali pecah. “ Terakhir kau menyentuhnya, dia menendang nendang.”

Aku menelan kembali isakanku dan menarik cintaku ke dalam pelukanku.

“ Aku tak percaya aku begitu sering mengeluh saat dia menendang nendang. Semuanya tampak begitu…”

“ Ra.” Bisikku membawa tubuhnya sedekat mungkin dengan tubuhku.

“ Hmm..” Maura mengenkat kepalanya dari dadaku, mata menatapku.

“ Saat kau- “ aku menelan ludahku kasar “ Sebelum mereka membawamu ke ruang operasi…” aku berpaling dari tatapan khawatirnya, seakan tak mampu menatap matanya saat aku harus mengucapkan ini.

“ Aku menyuruh mereka menyeamatkanmu.”

Saat mataku kembali terfokus padanya aku bisa melihat ekspresi bingung di wajahnya. Aku menggelengkan kepalaku saat aku merasakan bulir bulir air mata yang menyakiti mataku .

“ Aku mengatakan pada mereka jika seandainya aku disuruh memilih…”

Wajah cantik Maura berganti dengan ekspresi terluka saat menyadari apa yang aku ucapkan.

“ Aku sangat takut.” Lanjutku, seolah tak bisa berhenti berbicara “ Aku sangat takut kehilanganmu Ra. Aku tahu ini terdengar sangat jahat, tapi saat itu yang kupikirkan hanya ada satu Maura di dunia ini..”

“ Dan kita bisa punya bayi yang lain.” Maura menyimpulkan.

Aku mengenggelamkan wajahku pada rambutnya dan aku menikmati sensasi saat lengannya melingkar di pinggangku, menarik tubuhku agar lebih dekat. Aku tahu dia sedang mencoba menenangkan dirinya dan diriku.

“ kau adalah duniaku Ra! “ tangisku “ Dan jika aku harus hidup tanpamu…”

“ Ssshh… “ bisiknya , menghujani wajahku dengan ciumannya yang begitu menenangkan “ Aku tahu sayang. Aku tahu.”

“ Aku tak tahu apa yang aku lakukan jika terjadi sesuatu padamu.” Aku menangis. Menumpahkan semua emosi yang telah lama aku simpan sejak aku menerima panggilan dari Rumah Sakit, memberitahukanku tentang kecelakaan yang dialami istriku yang sedang hamil. Kecelakaan yang bisa saja merenggut Maura dari sisiku bersama dengan putrid kami yang belum lahir.

“ Aku berfikir kalau aku bisa membuat pilihan, itu terdengar sangat mengerikan . Tapi…”

“ Aku mengerti.” Ujarnya meyakinkan. “ Aku juga akan melakukan hal yang sama.”

“ Teima kasih.” bisikku “ Terima kasih .”

“ Kau tak perlu mengucapkan terima kasih” Maura menangis bersamaku. Mencium bibirku berulang ulang “ Aku sangat mencintaimu.”

“ Kau terlihat sangat pucat. Aku pikir.. kau telah meninggalkanku.”

“ Ssshhh.” Maura mengusap punggungku sayang dalam pelukannya. Membiarkan air mataku membasahi bajunya. “ Aku ada disini. Aku baik baik saja.”

“ Ketika mereka menemukan denyut nadimu, aku merasa seperti bernafas lagi. Dokter bilang kau meiliki banyak luka dalam, aku bahkan tak bisa mencerna apa yang dikatakan dokter saat itu. Aku bahkan tak memikirkan putrid kita sama sekali. Bukankah aku adalah seorang ayah yang jahat?” ratapku.

“ Saat itu kau mengkhawatirkanku. Kau pasti akan menjadi ayah yang baik suatu saat nanti.”

“ Saat itu aku tak memikirkannya. Aku begitu mati rasa saat itu. Aku sangat ingin melihatmu membuka matamu. Hanya itu yang aku pedulikan.”

“ Itu normal sayang.”

“ Dan ketika mereka membawamu ke ruang operasi aku benar benar tak ingin kau pergi dari pandanganku. Aku tak bisa menunggu di luar tanpa tahu apa yang terjadi padamu. Dan saat aku memikirkan bagaimana mereka membuka dan membelah tubuhmu.. aku benar benar tidak bisa.”

aku mengambil waktu untuk bernafas.

“ Dan saat mereka keluar ruang operasi untuk mencari lebih banyak darah. Aku panik. Aku mengatakan pada mereka untuk mengambil semua darahku jika itu bisa menyelamatkanmu.”

“ Golongan darah kita tak sama Kris.” bisiknya, menyeka air mataku dengan lembut.

“ Aku tak bisa berfikir rasional Ra. Aku hanya ingin kau..”

“ Hidup.” aku mengangguk

“ Dan mereka bilang bayi kita juga membutuhkan tranfusi darah. Ia tidak..” aku menangis tersedu sedu. “ Dia belum pergi saat itu. Mereka mengatakan kalau dia memiliki darah yang sama denganku. Jadi mereka mengambil darahku. Tapi itu tak cukup.”

“ Kau melakukan semua yang kau bisa.”

“ Seharusnya aku bisa lebih berusaha lagi.”

“ Tidak ada yang bisa kau lakukan sayang.” Maura mengusap kepalaku lembut.

“ Saat kau keluar dari ruang operasi...” bayangan itu akan tetap terpatri di dalam kepalaku. “ Kau terlihat begitu rapuh. Bahkan aku berfikir kalau sebuah sentuhan kecilpun akan membuatmu hancur. Dan perutmu sudah tak sebesar sebelumnya.mereka bilang jika aku mau melihatnya. Tapi aku tak pergi. Aku tak bisa meninggalkanmu. Aku tak pergi untuk melihat putri kita selama beberapa jam dia ada di dunia ini Ra. Yang aku pikirkan hanya dirimu. Dan mereka tidak bisa membawa putri kita padaku karena dia ada di ruang inkubator.”

aku menghela nafas

“ Saat itu tanganmu disangga Ra. Aku ingat sekali . Mereka bilang tanganmu rusak karena kau meletakkan tanganmu diatas perutmu sebelum tabrakan itu terjadi. Hal pertama dan terakhir yang kau pikirkan adalah bayi kita. Sedangkan aku hanya memikitkanmu dan bagaimana aku akan menjalani hidup tanpamu. Putri kita juga membutuhkanku. Tapi aku tak pergi untuk menemuinya.”

“ Itu bukan salahmu Kris. Dia belum cukup umur untuk hidup.” Maura begitu kuat. Bagaimana dia bisa melakukannya?

“ Tapi seharusnya aku menemuinya. Aku bisa mengatakan padanya bahwa kita sangat mencintainya.. aku bisa menyentuhnya..”

“ Paru parunya sangat kecil. Dia lahir 3 bulan sebelum waktunya. Dia tidak mungkin bisa bertahan.”

“ Maafkan aku.” tangisku “ Maafkan aku. Ini salahku dan justru kau malah menyalahkan dirimu. Justru kau yang menyalahkan dirimu. Jika saja aku melihatnya dan mengatakan kita sangat mencintainya mungkin dia akan berjuang.”

“ Tidak Kris. Dia memang masih terlalu kecil.” Maura mengusap air mataku. “ Aku yakin dia sangat tahu kalau dia sangat dicintai orang tuanya.” ia membawaku dalam dekapannya. “Aku yakin dia tahu kalau kau sosok ayah yang terbaik.”

“ Apa kau tak ingat saat dia merespon suaramu.” ucap Maura lembut. Tatapan sayangnya tak pernah meninggalkanku. “ Setiap kali kau bicara dia akan menendang. Setiap kali aku berbuat kasar padmu dia menendang sangat keras, seolah menyuruhku untuk berhenti memarahimu.” Maura tertawa pelan. “ Bayi kita sudah jadi putri kecil Papa bahkan sebelum dia lahir. Dia juga mencinbtaimu.”

Kata kata Maura semakin membuatku menangis hebat dan memeluknya semakin erat. “ Dimalam hari, saat kau meletakkan tanganmu diatas perutku dan berkata padanya untuk menunda permainan bolanya selema beberapa jam agar aku bisa tider, dia akan mendengarnya dan menurut. Aku bahkan sangat cemburu pada ikatan diantara kalian berdua.” ucapnya seraya tertawa pelan. “ Aku adalah orang yang mengandungnya tapi dia malah lebih dekat denganmu.”

“ Dia pasti akan sangat mencintaimu. “ bisikkku sambil menatapo istriku yang cantik. Mauraku. Dia pasti akan menjadi ibu yang baik. Itu pasti. Suatu saat nanti.

“ Dia akan menjadi sanagt mirip denganmu. Tersenyum manis sepertimu.” Maura tertawa dengan ucapannya sendiri, membuatku ikut tertawa bersamanya. “ Lalu dia kana berlari padaku dan mengeluhkan betapa papanya terlalu overprotective.”

“ Kalau itu aku pasti akan melakukannya Ra.” aku mencoba untuk tersenyum. Tapi hatiku sangat sakit. “ Aku mencintainnya Ra, sangat.”

“ Aku tahu. Dan dia juga pasti tahu.”

“ Tapi aku tak ada disampingnya saat dia membutuhkanku.”

“ Dan aku tahu, dia tak ingin berada di tempat lain saat itu.”bisiknya “ Dia tahu mamanya juga sangat membutuhkanmu.”

“ Dan aku juga membutuhkanmu Ra.”



                                                                        end



Nb. Gambar nya itu bukan hasil editanku sendiri. itu hasil comot. ga semper ngedit soalnya.

No comments:

Post a Comment